EKSISTENSI
NILAI TOLONG-MENOLONG PADA MASYARAKAT BUGIS
Kajian
atas Assitulung-Tulungéng Pada Prosesi Pernikahan[1]
Oleh: Ambo Upe, S.Sos.,M.Si
Abstrak:
Proses
penyelenggaraan pesta pernikahan pada masyarakat Bugis cukup kompleks. Ia dipengaruhi
oleh aturan adat dan agama, dan karena itu pihak yang menyelenggarakan
memerlukan banyak bantuan dalam rangka mematuhi aturan-aturan yang dimaksud. Mulai
dari tahapan penjajakan, persiapan, akad nikah, hingga pada prosesi
pascapernikahan kaum kerabat, tetangga sekampung, dan sahabat-sahabat memberikan
bantuan atau pertolongan baik berupa tenaga, bahan makanan, maupun uang. Ragam
bantuan inilah yang kemudian dalam bahasa Bugis disebut sebagai
assitulung-tulungéng. Dalam penelitian ini ditemukan dua
nilai yang mendasari eksistensi tolong-menolong (assitulung-tulungéng),
yakni nilai Situru’ dan Siturungéng. Nilai situru’ tumbuh, berkembang, dan
dipertahankan dalam lingkungan keluarga inti dan kaum kerabat. Sementara nilai
Siturungéng eksis dalam domain tetangga kampung dan para sahabat.
Kata Kunci: Tolong-menolong, Pernikahan, Situru’, Siturungéng.
A.
PENDAHULUAN
Pluralisme budaya telah menjadi karakter dan ciri khas yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia. Keanekaragaman budaya dapat berupa tradisi pernikahan di
antara berbagai suku bangsa. Pada sudut pandang yang
luas, pernikahan merupakan tatanan kehidupan yang mengatur kelakuan manusia,
seperti hak dan kewajiban serta perlindungannya terhadap hasil-hasil perkawinan
yaitu anak-anak, kebutuhan seks (biologis), rasa aman (psikologis), serta kebutuhan
pemberian status (sosiologis), dan kebutuhan nafkah hidup sehari-hari
(ekonomi). Suku bangsa yang menganut sistem keluarga luas (extended family),
pernikahan bukan saja merupakan pertautan dua insan laki-laki dan perempuan,
akan tetapi merupakan pertautan antara dua keluarga besar. Mengacu pada
perspektif Kluckholn, maka pada dasarnya pernikahan mengandung unsur pembentuk
sistem kekerabatan dan juga mengandung muatan sistem religi. Karena itu,
pernikahan merupakan salah satu bagian dalam kebudayaan secara universal.
Ihwal yang pertama memandang makna bahwa pernikahan bagi manusia
adalah suatu hal yang penting dan sakral, karena dengan pernikahan akan terjadi
suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan guna membentuk suatu
tatanan kehidupan rumah tangga. Dengan kata lain, penyelenggaraan pernikahan
merupakan suatu legitimasi sosial yang amat penting, sehingga secara turun
temurun terinternalisasi dalam suatu ikatan kekerabatan. Selain sebagai unsur pembentuk sistem kekerabatan,
pernikahan juga merupakan salah satu aspek penting dalam sistem religi yang
tertuang dalam ajaran agama tertentu. Agama Islam misalnya, memandang bahwa
pernikahan merupakan urusan yang sangat penting, sehingga dalam Al-Quran
terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara
mengenai perkawinan atau yang disebut nikah. Salah satu ayat diantaranya menyebutkan
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak dari hamba sahaya kamu yang laki-laki dan hamba sahaya
kamu yang perempuan. Jika mereka yang miskin Allah akan memampukan mereka
dengan karunianya, dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”
(Q.S. An-Nur, ayat 32).
Chabot dalam Sapada (1985) menyatakan bahwa pilihan pasangan hidup
bukanlah urusan pribadi, namun adalah urusan keluarga dan kerabat. Dengan
fungsi ini maka pernikahan haruslah diselenggarakan secara normatif menurut
agama dan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat dan harus diselenggarakan
secara sungguh-sungguh dalam suatu upacara perkawinan. Sejalan dengan pandangan
tersebut, menurut Pelras (2006), pernikahan merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam kehidupan manusia karena pernikahan bukan hanya merupakan
peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang berlainan
jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah perkawinan sesungguhnya proses yang
melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab
keluarga, kaum kerabat (sompung lolo) bahkan kesaksian dari seluruh
masyarakat yang ada di lingkungannya.
Oleh karena prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis cukup kompleks
yang dipengaruhi oleh aturan adat dan agama, maka pihak yang menyelenggarakan
memerlukan banyak bantuan dalam rangka mematuhi kedua dasar aturan tersebut.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan globalisasi,
budaya tolong-menolong di Indonesia dapat dikatakan telah terkikis dan menuju
ambang kepunahan. Atas dasar dialektika pemikiran itulah, penelitian tentang assitulung-tulungéng
dalam prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis dipandang penting dan menarik
untuk diteliti secara mendalam melalui prosedur penelitian ilmiah dengan tujuan
untuk mengetahui eksistensi tolong-menolong pada masyarakat Bugis khususnya
dalam prosesi pernikahan.
B.
KAJIAN LITERATUR TENTANG
TOLONG-MENOLONG
Sebagai sebuah kehidupan kolektif, setiap kelompok masyarakat
mengembangkan kebudayaan yang sesuai dengan kondisi dan kompleksitas masyarakatnya.
Pada masing-masing kelompok masyarakat, hal tersebut dikonstruk menjadi sebuah pranata.
Koentjaraningrat (2000) mendefiniskan pranata sebagai sistem norma atau
aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Dengan
adanya pranata, terdapat berbagai keteraturan di dalam tindakan-tindakan
masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan untuk kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian sebuah pranata timbul pada masyarakat karena pranata tersebut
memiliki fungsi dalam mendukung upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup
manusia sebagai anggota masyarakat. Salah satu pranata yang terdapat dalam
masyarakat adalah tolong-menolong. Menurutnya, pranata tolong-menolong
dimasukkan ke dalam klasifikasi pranata domestik (domestic institutions)
yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan.
Penjelasan mengenai tolong-menolong telah disampaikan oleh
Malinowski (Koentjaraningrat, 1992) bahwa sistem tukar-menukar kewajiban dan
benda dalam banyak lapangan kehidupan masyarakat merupakan daya pengikat dan
daya gerak dari masyarakat. Sistem menyumbang untuk menimbulkan kewajiban
membalas merupakan prinsip dari kehidupan masyarakat kecil yang disebut prinsip
timbal balik (principle of reciprocity). Dalam hubungannya berbagai
macam lapangan aktivitas kehidupan sosial, Koentjaraningrat (1992) menyatakan
bahwa sistem tolong-menolong, yang dalam bahasa Indonesia disebut
gotong-royong, memiliki perbedaan tingkat kerelaannya yaitu (1) tolong-menolong
dalam aktivitas pertanian; (2) tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah
tangga; (3) tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara; dan (4)
tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian.
Dari pandangan konseptual di atas, istilah tolong-menolong pada
dasarnya telah diseruhkan dalam ajaran Agama Islam sebagaimana Firman Allah SWT
dalam Surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya “Dan tolong menolonglah kamu dalam
kebajikan dan ketakwaan dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan
pelanggaran”. Ayat di atas merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama
dengan siapapun, selama tujuannya adalah kebajikan dan ketakwaan.
Eksistensi tolong-menolong (assitulung-tulungéng) pada masyarakat
Bugis tertuang dalam falsafah hidup “Rébba sipatokkong, mali siparappe,
Sirui menre téssurui nok, malillu sipakaingé, maingéppi mupaja”. Artinya,
rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan
tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau
tertolong barulah berhenti. Filosofi tersebut memberi pesan agar orang selalu
berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Harus
tolong-menolong ketika menghadapi rintangan dan saling mengingatkan untuk
menuju jalan yang benar. Filosofi hidup masyarakat Bugis inilah yang menjadi
pegangan hidup di mana pun mereka berada dan dalam aktivitas apapun yang
dianggap baik.
Secara spesifik, assitulung-tulungéng dalam penyelenggaran
pesta pernikahan masyarakat Bugis sebagai suatu pendekatan sosio-antroplogis
dapat diungkapkan bahwa prinsip tolong-menolong tersebut, bersumber dari adat,
dan juga agama. Karena dalam masyarakat Bugis memang terdapat keanekaragaman
(pluralisme) hukum yang bersumber dari adat, agama, dan Negara. Penjelasan yang
mendalam tentang prosedur pernikahan masyarakat adat Bugis dapat dilihat dari
tulisan Millar (2009) menyatakan bahwa penyelenggarana pesta pernikahan pada
masyarakat Bugis sangat dipengaruhi oleh adat sehingga pihak yang
menyelenggarakannya memerlukan banyak bantuan dalam rangka mematuhi
aturan-aturan adatnya. Karena itu mulai dari proses peminangan sampai akhir
acara perjamuan senantiasa diwarnai dengan hubungan saling membantu.
Dengan demikian dalam perspektif sosio-antropologis, tolong-menolong
merupakan sebuah pranata dalam sistem kemasyarakatan. Tolong-menolong telah
menjadi bagian dari struktur sosial yang membentuk masyarakat. Tolong-menolong
sebagai sebuah pranata saling terkait dengan pranata-pranata lain secara
teratur untuk membentuk satu kesatuan yang sistematis. Dalam perspektif budaya masyarakat
Bugis, pranata tolong-menolong dikonsepsikan sebagai assitulung-tulungéng.
C.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif dengan cara melakukan wawancara mendalam (deep interview)
kepada informan sebagai teknik pengumpulan data primer. Melalui teknik
penentuan informan secara snowball diperoleh informan sebanyak 21 orang
yang terbagi atas dua kelompok, yakni 12 informan utama yang meliputi tokoh
agama, tokoh pendidik, dan tokoh pemuda, dan 9 orang informan penunjang.
Sementara data sekunder diperoleh dari kantor kelurahan berupa data
kependudukan Kelurahan Bungkutoko yang dipandang relevan.
Analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara
terus menerus, sehingga datanya akan lebih mendalam. Teknik analisis yang
demikian ini mengikuti pendekatan analisis kualitatif dengan menggunakan model
Miles and Huberman (1992). Oleh karena itu, analisis datanya meliputi tiga
tahapan. Pertama, reduksi data (data reduction), yakni merangkum,
memilih hal-hal pokok, dan memfokuskan pada hal-hal penting dari sejumlah data
lapangan yang telah diperoleh dan mencari polanya. Dengan demikian, data yang
telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang nilai assitulung-tulungéng
dalam prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis. Kedua, penyajian data (data
display), yakni menampilkan data yang telah direduksi yang sifatnya sudah
terorganisasikan dan mudah dipahami. Ketiga, kesimpulan (conclution drawing),
yakni akumulasi dari kesimpulan awal yang diserta dengan bukti-bukti yang valid
dan konsisten (kredibel), sehingga kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian
ini diarahkan untuk menjawab permasalahan penelitian yang diarahkan untuk
memberikan gambaran tentang nilai assitulung-tulungéng dalam prosesi
pernikahan pada masyarakat Bugis di Kelurahan Bungkutoko Kota Kendari.
D.
NILAI SITURU’ DAN
SITURUNGÉNG: TEMUAN DAN ANALISIS
Tolong-menolong di tingkat sistem terwujud sebagai sistem ide.
Tatanan nilai yang mencakup nilai selaras (orientasi horizontal), nilai
loyalitas (orientasi vertikal), nilai konformitas (sama rata sama rasa), dan
nilai kebersamaan (saling tergantung antarsesama) merupakan tatanan nilai yang
menjiwai sistem tolong-menolong. Tolong-menolong di tingkat sistem budaya
bersifat abstrak, lambat, dan sukar berubah. Sedangkan di tingkat sistem sosial
bersifat konkret, lebih cepat, dan mudah berubah menurut tingkat perkembangan
masyarakat yang mengkonsepsikannya. Secara filosofis, Spranger (1928) menyamakan
nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena
kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai. Kebudayaan merupakan kumpulan nilai
tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu
kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang
berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu.
Dalam konteks sosio-kultur masyarakat Bugis, tolong-menolong (assitulung-tulungéng)
sebagai nilai mendasar, tertuang sejak lama dalam falsafah hidup rebba
sipatokkong, mali siparappe, sirui menre tessurui nok, malillu sipakainge,
maingeppi mupaja. Fenomena yang demikian itu telah dijelaskan oleh
Mattulada (1995) bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis umumnya masih
terikat oleh sistem norma dan aturan adat. Keseluruhan sistem norma dan aturan
adat itu disebut pangaderréng. Pangaderréng dapat diartikan
sebagai keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah
laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata-pranata sosialnya. Atas dasar
ini perlu dilakukan pertanyaan probing mengapa assitulung-tulungéng
masih tetap eksis dalam proses pernikahan pada masyarakat Bugis.
Secara keseluruhan nilai yang mendasari eksistensi assitulung-tulungéng
meliputi dua nilai sosial budaya masyarakat Bugis yang disebut situru’
dan siturungéng. Nilai budaya tersebut kemudian diperkuat oleh budaya
agama Islam yang mereka anut sejak lama. Nilai-nilai budaya merupakan
nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup
organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan,
kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang
dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa
yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Kehidupan manusia dalam masyarakat tidak terlepas akan adanya
interaksi sosial antarsesamanya. Pada dasarnya manusia sesuai dengan fitrahnya
merupakan makhluk sosial yang tidak biasa hidup sendiri melainkan membutuhkan
pertolongan orang lain. Oleh sebab itu di dalam kehidupan masyarakat diperlukan
adanya tolong-menolong dalam menyelesaikan segala permasaiahan. Jatidiri yang
demikian inilah yang dimiliki oleh Suku Bugis di manapun berada, termasuk Suku
Bugis yang ada di Kelurahan Bungkutoko. Suku Bugis di Bungkutoko terkenal
dengan sikap ramah, kekeluargaan, dan saling tolong-menolong di dalam kehidupan
sehari-hari. Atas karakter masyarakat yang demikian, sehingga untuk
menyelesaikan segala problema yang ada di dalam kehidupan masyarakat, termasuk
dalam proses penyelenggaraan pesta pernikahan dibutuhkan sikap kerjasama (sibali
reso) yang dapat mempermudah dan memecahkan masalah secara efisien.
Tolong-menolong, sebagai sebuah pranata dalam sistem kemasyarakatan,
timbul dalam masyarakat sebagai akibat dari keterbatasan anggota masyarakat
ataupun lingkungan dalam memenuhi kebutuhannya. Pranata tolong-menolong
berfungsi mengatur anggota masyarakat dalam berinteraksi guna memenuhi
kebutuhannya. Dalam perspektif struktural-fungsional, keberadaan pranata
tolong-menolong dalam struktur sosial masyarakat karena pranata ini dapat
menjadi komponen dalam struktur yang mampu mengatur pemenuhan kebutuhan
masyarakat dalam kondisi keterbatasan masyarakat; sekaligus menjadi daya
pengikat dan daya gerak masyarakat.
Dalam prosesnya, tolong-menolong menjalankan prinsip timbal balik (reciprocities)
dan merupakan sebuah bentuk pertukaran sosial. Pertolongan yang diberikan oleh
seseorang menimbulkan kewajiban kepada pihak yang ditolong untuk membalasnya
secara seimbang, dan pada diri pihak pemberi pun muncul harapan akan adanya
balasan yang seimbang pemberiannya. Jadi unsur kerelaan dalam memberi sangat
relatif tingkatnya kecuali untuk tolong-menolong pada situasi kematian atau
musibah yang cenderung rela. Pranata tolong-menolong ini terkait dan saling
mempengaruhi dengan pranata lainnya sebagai sebuah sistem. Tolong-menolong ini
akan terjadi pada saat dilakukan upacara oleh anggota masyarakat, maka anggota
masyarakat lain akan membantu mengingat upacara tersebut dipandang sebagai
kegiatan yang penting dalam sistem religinya.
Realitas ini senada dengan pandangan Koentjaraningrat (2000) bahwa
pranata merupakan sistem norma mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus.
Dengan adanya pranata, terdapat berbagai keteraturan di dalam tindakan-tindakan
masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan untuk kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian sebuah pranata timbul pada masyarakat karena pranata tersebut
memiliki fungsi dalam mendukung upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup
manusia sebagai anggota masyarakat. Pranata yang terdapat dalam masyarakat
Kelurahan Bungkutoko khususnya bagi Suku Bugis adalah adanya assitulung-tulungéng
dimana eksistensinya ditopang oleh dua pranata sosial budaya, yakni budaya situru’
(seiya-sekata) dan siturungéng (saling mendatangi).
Kedua pranata ini dapat digolongkan ke dalam klasifikasi pranata
domestik (domestic institutions) sebagaimana yang dimaksudkan oleh
Koentjaraningrat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan
termasuk dalam proses pernikahan. Budaya situru’ lah yang menjadi urat
nadi eksisnya assitulung-tulungéng di lingkungan keluarga. Tanpa budaya situru’,
maka kerjasama di lingkungan keluarga inti untuk menyelenggarakan hajatan
pernikahan anaknya tidak akan berjalan dengan lancar sesuai harapan nilia-nilai
yang dianggap baik. Pernikahan silariang adalah contoh tidak adanya
sikap situru’ dari kalangan keluarga, sehingga anak memilih jalan pintas
dengan cara nikah siri.
Eksistensi tolong-menolong (assitulung-tulungéng) yang berupa
penyediaan bahan makanan (mappusara), pembuatan tempat pesta pernikahan
(massarapo), dan proses penyatuan antara laki-laki dan perempuan
termasuk penyatuan keluarga (mappasilorongéng) dalam prosesi pernikahan
masyarakat Bugis merupakan perwujudan hasil sosialisasi nilai-nilai situru’
dan siturungéng yang telah lama eksis dalam lingkungan masyarakat Bugis
di Kelurahan Bungkutoko. Selanjutnya eksistensi dari kedua nilai tersebut
sangat dipengaruhi oleh eksistensi filosofi rebba sipatokkong dan mali
siparappe sebagai asumsi dasar dari budaya assitulung-tulungéng,
serta yang tidak kalah pentingnya adalah ajaran agama yang tertuang dalam
Al-Quran dan Hadist.
Secara kontekstual eksistensi budaya mappasilorongéng
didasarkan pada nilai situru’, dalam pengertian bahwa pernikahan pada masyarakat
Bugis merupakan proses yang melibatkan kesepakatan antara keluarga inti dan
anak. Tanpa adanya kesepakatan di antara keduanya, pernikahan tidak akan
dilangsungkan karena tidak dipandang memiliki nilai status sosial yang tinggi.
Keluarga sebagai pranata sosial dalam masyarakat secara fungsional akan
memberikan kontribusi terhadap eksistensi budaya ini, sehingga ketika terjadi
disfungsional dalam pengertian tidak terjadi kesepakatan (situru’), maka
akan menjadi salah satu faktor terjadinya kawin lari (silariang).
Sementara bentuk budaya mappusara, dan massarapo didasarkan pada
nilai siturungéng, dalam pengertian bahwa pekerjaan menyiapkan bahan
makanan dan berbagai kelengkapan dalam prosesi pernikahan sangat dibutuhkan
kerja sama dari kerabat dan tetangga. Singkatnya, hanya dengan cara saling
mendatangi dan memberi bantuan kepada pihak keluarga mempelai prosesi ini dapat
dilaksanakan dengan baik.
Secara sosiologis, nilai situru’ dan siturungéng merupakan
dasar terciptanya solidaritas sosial. Solidaritas dalam konteks penelitian ini
adalah keterikatan erat antara individu yang satu dengan individu yang lain
pada situasi sosial tertentu. Solidaritas yang muncul dalam setiap kelompok
masyarakat disebabkan adanya beberapa persamaan, seperti persamaan kebutuhan,
keturunan, dan tempat tinggal. Solidaritas menurut Johnson (1986) menunjuk pada
suatu hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan perasaan moral dan
kepercayaan yang dianut dan di perkuat oleh pengalaman emosional bersama,
ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas
persetujuan rasional.
Solidaritas dalam perspektif masyarakat Bugis disebut sebagai assimelleréng.
Assimelleréng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan
antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang
sahabat yang lain, para tetangga sekitar, memiliki rasa kekeluargaan yang
tinggi, dan setia kawan. Lontara sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan
kemanusiaan yang tinggi, solidaritas antar sesama manusia, berusaha membantu
orang, dan suka menolong. Dalam Lontara sebagaimana yang dimuat dalam website
rappang, dengan topik Assimelleréng disebutkan “iya padecengi
assiajingéng: sianrasa-rasannge nasiammase-maseie; sipakario-rio;
tessicirinnaiannge risitinajae”. Artinya, yang memperbaiki hubungan kekeluargaan
adalah sependeritaan dan kasih-mengasihi; saling menggembirakan; merelakan
harta benda dalam batas-batas kewajaran.
Dari pengertian di atas dapat diambil beberapa hal yang menjadi
ciri-ciri suatu masyarakat Bugis, yaitu saling berinteraksi, mempunyai ikatan,
pola tingkah laku yang khas tentang semua faktor kehidupan dalam batas
kesatuan, rasa identitas diantara warga yang dapat menunjukkan perbedaan dengan
masyarakat lain. Dalam peristiwa kehidupan sosial sehari-hari, individu sebagai
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, memiliki
kewajiban untuk menyatu dalam tujuan masyarakat itu sendiri. Kenyataan ini
tidak terbantahkan jika dilihat pada bentuk kehidupan masyarakat, baik
masyarakat dalam bentuk organis maupun
dalam bentuk mekanis. Hal ini di
karenakan kehidupan masyarakat merupakan suatu model kehidupan yang saling
mengisi antara satu dengan yang lainnya.
Dalam perspektif kajian sosio-antropologis, konsep assitulung-tulungéng
pada pesta pernikahan masyarakat Bugis dapat diformulasikan ke dalam dua
pandangan teoretis. Pertama, budaya assitulung-tulungéng dipandang
sebagai sistem adaptasi suatu kelompok masyarakat terhadap lingkungannya.
Budaya assitulung-tulungéng ditempatkan sebagai keseluruhan cara hidup
suatu masyarakat yang diwariskan, dipelihara, dan dikembangkan secara turun
temurun sesuai dengan tuntutan lingkungan yang tengah dihadapi. Kedua, budaya assitulung-tulungéng
dipandang sebagai suatu sistem makna dideskripsikan laksana kulit bawang yang
tersusun secara berlapis-lapis. Schein dalam bukunya yang berjudul Organizational
Culture and Leadership (1985) menyebutkan susunan tersebut, yakni the
outer layer, the middle layer, dan the core. Lapisan luar (the
outer layer) yang berupa produk-produk eksplisit dari suatu budaya
sebagaimana yang tercermin pada berbagai jenis budaya materil sebagaimana yang
digunakan dalam proses pernikahan. Selanjutnya lapisan tengah (the middle
layer) yang meliputi norma-norma dan nilai-nilai yang dianggap sebagai
suatu sistem nilai baik atau buruk, yakni nilai-nilai situru’ dan siturungéng.
Sedangkan lapisan inti (the core) berupa anggapan-anggapan dasar tentang
eksistensi budaya itu sendiri. Lapisan intilah yang menjadi pandangan hidup
yang membedakan suatu kelompok masyarakat.
E.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi assitulung-tulungéng
dalam prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis khususnya di Kelurahan
Bungkutoko didasarkan pada dua nilai pokok, yakni nilai situru’ dan siturungéng.
Nilai situru’ tumbuh, berkembang, dan dipertahankan dalam lingkungan keluarga
inti dan kaum kerabat. Sementara nilai Siturungéng eksis dalam domain tetangga
kampung dan para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Huberman, A. Michael dan Matthew B. Miles. 1992. Analisis
Data Kualitatif. UII Press, Jakarta.
Johnson, Paul Doyle. 1986. Teori
Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
--------------. 1992. Beberapa Pokok
Antropologi Sosial. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Mattulada. 1995. Latoa, Suatu Lukisan
Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung Pandang:
Hasanuddin University Press.
Millar, Susan Bolyard. 2009. Perkawinan
Bugis (terjemahan). Makassar: Ininnawa.
Pelras, C. 2006. Manusia Bugis
(terjemahan). Jakarta: Nalar.
Sapada, A.N. 1985. Tata Rias
Pengantin dan Tata Cara Perkawinan Bugis Makassar. Ujung Pandang: Agung
Lestari.
Schein, Edgar H. 1985. Organizational Culture and
Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.
Spranger, E. 1928. The Types of Men: The
Psychology and Ethics of Personality. Max Niemeyer Verlag: Halle.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar