Sabtu, 17 Maret 2012

Tolong-Menolong


EKSISTENSI NILAI TOLONG-MENOLONG PADA MASYARAKAT BUGIS
Kajian atas Assitulung-Tulungéng Pada Prosesi Pernikahan[1]
Oleh: Ambo Upe, S.Sos.,M.Si
Abstrak: Proses penyelenggaraan pesta pernikahan pada masyarakat Bugis cukup kompleks. Ia dipengaruhi oleh aturan adat dan agama, dan karena itu pihak yang menyelenggarakan memerlukan banyak bantuan dalam rangka mematuhi aturan-aturan yang dimaksud. Mulai dari tahapan penjajakan, persiapan, akad nikah, hingga pada prosesi pascapernikahan kaum kerabat, tetangga sekampung, dan sahabat-sahabat memberikan bantuan atau pertolongan baik berupa tenaga, bahan makanan, maupun uang. Ragam bantuan inilah yang kemudian dalam bahasa Bugis disebut sebagai assitulung-tulungéng. Dalam penelitian ini ditemukan dua nilai yang mendasari eksistensi tolong-menolong (assitulung-tulungéng), yakni nilai Situru’ dan Siturungéng. Nilai situru’ tumbuh, berkembang, dan dipertahankan dalam lingkungan keluarga inti dan kaum kerabat. Sementara nilai Siturungéng eksis dalam domain tetangga kampung dan para sahabat.
Kata Kunci: Tolong-menolong, Pernikahan, Situru’, Siturungéng.
A.    PENDAHULUAN
Pluralisme budaya telah menjadi karakter dan ciri khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Keanekaragaman budaya dapat berupa tradisi pernikahan di antara berbagai suku bangsa. Pada sudut pandang yang luas, pernikahan merupakan tatanan kehidupan yang mengatur kelakuan manusia, seperti hak dan kewajiban serta perlindungannya terhadap hasil-hasil perkawinan yaitu anak-anak, kebutuhan seks (biologis), rasa aman (psikologis), serta kebutuhan pemberian status (sosiologis), dan kebutuhan nafkah hidup sehari-hari (ekonomi). Suku bangsa yang menganut sistem keluarga luas (extended family), pernikahan bukan saja merupakan pertautan dua insan laki-laki dan perempuan, akan tetapi merupakan pertautan antara dua keluarga besar. Mengacu pada perspektif Kluckholn, maka pada dasarnya pernikahan mengandung unsur pembentuk sistem kekerabatan dan juga mengandung muatan sistem religi. Karena itu, pernikahan merupakan salah satu bagian dalam kebudayaan secara universal.
Ihwal yang pertama memandang makna bahwa pernikahan bagi manusia adalah suatu hal yang penting dan sakral, karena dengan pernikahan akan terjadi suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan guna membentuk suatu tatanan kehidupan rumah tangga. Dengan kata lain, penyelenggaraan pernikahan merupakan suatu legitimasi sosial yang amat penting, sehingga secara turun temurun terinternalisasi dalam suatu ikatan kekerabatan. Selain sebagai unsur pembentuk sistem kekerabatan, pernikahan juga merupakan salah satu aspek penting dalam sistem religi yang tertuang dalam ajaran agama tertentu. Agama Islam misalnya, memandang bahwa pernikahan merupakan urusan yang sangat penting, sehingga dalam Al-Quran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai perkawinan atau yang disebut nikah. Salah satu ayat diantaranya menyebutkan Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba sahaya kamu yang laki-laki dan hamba sahaya kamu yang perempuan. Jika mereka yang miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya, dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui” (Q.S. An-Nur, ayat 32).
Chabot dalam Sapada (1985) menyatakan bahwa pilihan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, namun adalah urusan keluarga dan kerabat. Dengan fungsi ini maka pernikahan haruslah diselenggarakan secara normatif menurut agama dan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat dan harus diselenggarakan secara sungguh-sungguh dalam suatu upacara perkawinan. Sejalan dengan pandangan tersebut, menurut Pelras (2006), pernikahan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena pernikahan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah perkawinan sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga, kaum kerabat (sompung lolo) bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada di lingkungannya.
Oleh karena prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis cukup kompleks yang dipengaruhi oleh aturan adat dan agama, maka pihak yang menyelenggarakan memerlukan banyak bantuan dalam rangka mematuhi kedua dasar aturan tersebut. Namun kenyataan menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan globalisasi, budaya tolong-menolong di Indonesia dapat dikatakan telah terkikis dan menuju ambang kepunahan. Atas dasar dialektika pemikiran itulah, penelitian tentang assitulung-tulungéng dalam prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis dipandang penting dan menarik untuk diteliti secara mendalam melalui prosedur penelitian ilmiah dengan tujuan untuk mengetahui eksistensi tolong-menolong pada masyarakat Bugis khususnya dalam prosesi pernikahan.
B.     KAJIAN LITERATUR TENTANG TOLONG-MENOLONG
Sebagai sebuah kehidupan kolektif, setiap kelompok masyarakat mengembangkan kebudayaan yang sesuai dengan kondisi dan kompleksitas masyarakatnya. Pada masing-masing kelompok masyarakat, hal tersebut dikonstruk menjadi sebuah pranata. Koentjaraningrat (2000) mendefiniskan pranata sebagai sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Dengan adanya pranata, terdapat berbagai keteraturan di dalam tindakan-tindakan masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan untuk kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian sebuah pranata timbul pada masyarakat karena pranata tersebut memiliki fungsi dalam mendukung upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia sebagai anggota masyarakat. Salah satu pranata yang terdapat dalam masyarakat adalah tolong-menolong. Menurutnya, pranata tolong-menolong dimasukkan ke dalam klasifikasi pranata domestik (domestic institutions) yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan.
Penjelasan mengenai tolong-menolong telah disampaikan oleh Malinowski (Koentjaraningrat, 1992) bahwa sistem tukar-menukar kewajiban dan benda dalam banyak lapangan kehidupan masyarakat merupakan daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat. Sistem menyumbang untuk menimbulkan kewajiban membalas merupakan prinsip dari kehidupan masyarakat kecil yang disebut prinsip timbal balik (principle of reciprocity). Dalam hubungannya berbagai macam lapangan aktivitas kehidupan sosial, Koentjaraningrat (1992) menyatakan bahwa sistem tolong-menolong, yang dalam bahasa Indonesia disebut gotong-royong, memiliki perbedaan tingkat kerelaannya yaitu (1) tolong-menolong dalam aktivitas pertanian; (2) tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga; (3) tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara; dan (4) tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian.
Dari pandangan konseptual di atas, istilah tolong-menolong pada dasarnya telah diseruhkan dalam ajaran Agama Islam sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran”. Ayat di atas merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan siapapun, selama tujuannya adalah kebajikan dan ketakwaan.
Eksistensi tolong-menolong (assitulung-tulungéng) pada masyarakat Bugis tertuang dalam falsafah hidup “Rébba sipatokkong, mali siparappe, Sirui menre téssurui nok, malillu sipakaingé, maingéppi mupaja”. Artinya, rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti. Filosofi tersebut memberi pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan dan saling mengingatkan untuk menuju jalan yang benar. Filosofi hidup masyarakat Bugis inilah yang menjadi pegangan hidup di mana pun mereka berada dan dalam aktivitas apapun yang dianggap baik.
Secara spesifik, assitulung-tulungéng dalam penyelenggaran pesta pernikahan masyarakat Bugis sebagai suatu pendekatan sosio-antroplogis dapat diungkapkan bahwa prinsip tolong-menolong tersebut, bersumber dari adat, dan juga agama. Karena dalam masyarakat Bugis memang terdapat keanekaragaman (pluralisme) hukum yang bersumber dari adat, agama, dan Negara. Penjelasan yang mendalam tentang prosedur pernikahan masyarakat adat Bugis dapat dilihat dari tulisan Millar (2009) menyatakan bahwa penyelenggarana pesta pernikahan pada masyarakat Bugis sangat dipengaruhi oleh adat sehingga pihak yang menyelenggarakannya memerlukan banyak bantuan dalam rangka mematuhi aturan-aturan adatnya. Karena itu mulai dari proses peminangan sampai akhir acara perjamuan senantiasa diwarnai dengan hubungan saling membantu.
Dengan demikian dalam perspektif sosio-antropologis, tolong-menolong merupakan sebuah pranata dalam sistem kemasyarakatan. Tolong-menolong telah menjadi bagian dari struktur sosial yang membentuk masyarakat. Tolong-menolong sebagai sebuah pranata saling terkait dengan pranata-pranata lain secara teratur untuk membentuk satu kesatuan yang sistematis. Dalam perspektif budaya masyarakat Bugis, pranata tolong-menolong dikonsepsikan sebagai assitulung-tulungéng.
C.    METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan cara melakukan wawancara mendalam (deep interview) kepada informan sebagai teknik pengumpulan data primer. Melalui teknik penentuan informan secara snowball diperoleh informan sebanyak 21 orang yang terbagi atas dua kelompok, yakni 12 informan utama yang meliputi tokoh agama, tokoh pendidik, dan tokoh pemuda, dan 9 orang informan penunjang. Sementara data sekunder diperoleh dari kantor kelurahan berupa data kependudukan Kelurahan Bungkutoko yang dipandang relevan.
Analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus, sehingga datanya akan lebih mendalam. Teknik analisis yang demikian ini mengikuti pendekatan analisis kualitatif dengan menggunakan model Miles and Huberman (1992). Oleh karena itu, analisis datanya meliputi tiga tahapan. Pertama, reduksi data (data reduction), yakni merangkum, memilih hal-hal pokok, dan memfokuskan pada hal-hal penting dari sejumlah data lapangan yang telah diperoleh dan mencari polanya. Dengan demikian, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang nilai assitulung-tulungéng dalam prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis. Kedua, penyajian data (data display), yakni menampilkan data yang telah direduksi yang sifatnya sudah terorganisasikan dan mudah dipahami. Ketiga, kesimpulan (conclution drawing), yakni akumulasi dari kesimpulan awal yang diserta dengan bukti-bukti yang valid dan konsisten (kredibel), sehingga kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan penelitian yang diarahkan untuk memberikan gambaran tentang nilai assitulung-tulungéng dalam prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis di Kelurahan Bungkutoko Kota Kendari.
D.    NILAI SITURU’ DAN SITURUNGÉNG: TEMUAN DAN ANALISIS
Tolong-menolong di tingkat sistem terwujud sebagai sistem ide. Tatanan nilai yang mencakup nilai selaras (orientasi horizontal), nilai loyalitas (orientasi vertikal), nilai konformitas (sama rata sama rasa), dan nilai kebersamaan (saling tergantung antarsesama) merupakan tatanan nilai yang menjiwai sistem tolong-menolong. Tolong-menolong di tingkat sistem budaya bersifat abstrak, lambat, dan sukar berubah. Sedangkan di tingkat sistem sosial bersifat konkret, lebih cepat, dan mudah berubah menurut tingkat perkembangan masyarakat yang mengkonsepsikannya. Secara filosofis, Spranger (1928) menyamakan nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai. Kebudayaan merupakan kumpulan nilai tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu.
Dalam konteks sosio-kultur masyarakat Bugis, tolong-menolong (assitulung-tulungéng) sebagai nilai mendasar, tertuang sejak lama dalam falsafah hidup rebba sipatokkong, mali siparappe, sirui menre tessurui nok, malillu sipakainge, maingeppi mupaja. Fenomena yang demikian itu telah dijelaskan oleh Mattulada (1995) bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis umumnya masih terikat oleh sistem norma dan aturan adat. Keseluruhan sistem norma dan aturan adat itu disebut pangaderréng. Pangaderréng dapat diartikan sebagai keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata-pranata sosialnya. Atas dasar ini perlu dilakukan pertanyaan probing mengapa assitulung-tulungéng masih tetap eksis dalam proses pernikahan pada masyarakat Bugis.
Secara keseluruhan nilai yang mendasari eksistensi assitulung-tulungéng meliputi dua nilai sosial budaya masyarakat Bugis yang disebut situru’ dan siturungéng. Nilai budaya tersebut kemudian diperkuat oleh budaya agama Islam yang mereka anut sejak lama. Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Kehidupan manusia dalam masyarakat tidak terlepas akan adanya interaksi sosial antarsesamanya. Pada dasarnya manusia sesuai dengan fitrahnya merupakan makhluk sosial yang tidak biasa hidup sendiri melainkan membutuhkan pertolongan orang lain. Oleh sebab itu di dalam kehidupan masyarakat diperlukan adanya tolong-menolong dalam menyelesaikan segala permasaiahan. Jatidiri yang demikian inilah yang dimiliki oleh Suku Bugis di manapun berada, termasuk Suku Bugis yang ada di Kelurahan Bungkutoko. Suku Bugis di Bungkutoko terkenal dengan sikap ramah, kekeluargaan, dan saling tolong-menolong di dalam kehidupan sehari-hari. Atas karakter masyarakat yang demikian, sehingga untuk menyelesaikan segala problema yang ada di dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam proses penyelenggaraan pesta pernikahan dibutuhkan sikap kerjasama (sibali reso) yang dapat mempermudah dan memecahkan masalah secara efisien.
Tolong-menolong, sebagai sebuah pranata dalam sistem kemasyarakatan, timbul dalam masyarakat sebagai akibat dari keterbatasan anggota masyarakat ataupun lingkungan dalam memenuhi kebutuhannya. Pranata tolong-menolong berfungsi mengatur anggota masyarakat dalam berinteraksi guna memenuhi kebutuhannya. Dalam perspektif struktural-fungsional, keberadaan pranata tolong-menolong dalam struktur sosial masyarakat karena pranata ini dapat menjadi komponen dalam struktur yang mampu mengatur pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam kondisi keterbatasan masyarakat; sekaligus menjadi daya pengikat dan daya gerak masyarakat.
Dalam prosesnya, tolong-menolong menjalankan prinsip timbal balik (reciprocities) dan merupakan sebuah bentuk pertukaran sosial. Pertolongan yang diberikan oleh seseorang menimbulkan kewajiban kepada pihak yang ditolong untuk membalasnya secara seimbang, dan pada diri pihak pemberi pun muncul harapan akan adanya balasan yang seimbang pemberiannya. Jadi unsur kerelaan dalam memberi sangat relatif tingkatnya kecuali untuk tolong-menolong pada situasi kematian atau musibah yang cenderung rela. Pranata tolong-menolong ini terkait dan saling mempengaruhi dengan pranata lainnya sebagai sebuah sistem. Tolong-menolong ini akan terjadi pada saat dilakukan upacara oleh anggota masyarakat, maka anggota masyarakat lain akan membantu mengingat upacara tersebut dipandang sebagai kegiatan yang penting dalam sistem religinya.
Realitas ini senada dengan pandangan Koentjaraningrat (2000) bahwa pranata merupakan sistem norma mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Dengan adanya pranata, terdapat berbagai keteraturan di dalam tindakan-tindakan masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan untuk kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian sebuah pranata timbul pada masyarakat karena pranata tersebut memiliki fungsi dalam mendukung upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia sebagai anggota masyarakat. Pranata yang terdapat dalam masyarakat Kelurahan Bungkutoko khususnya bagi Suku Bugis adalah adanya assitulung-tulungéng dimana eksistensinya ditopang oleh dua pranata sosial budaya, yakni budaya situru’ (seiya-sekata) dan siturungéng (saling mendatangi).
Kedua pranata ini dapat digolongkan ke dalam klasifikasi pranata domestik (domestic institutions) sebagaimana yang dimaksudkan oleh Koentjaraningrat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan termasuk dalam proses pernikahan. Budaya situru’ lah yang menjadi urat nadi eksisnya assitulung-tulungéng di lingkungan keluarga. Tanpa budaya situru’, maka kerjasama di lingkungan keluarga inti untuk menyelenggarakan hajatan pernikahan anaknya tidak akan berjalan dengan lancar sesuai harapan nilia-nilai yang dianggap baik. Pernikahan silariang adalah contoh tidak adanya sikap situru’ dari kalangan keluarga, sehingga anak memilih jalan pintas dengan cara nikah siri.
Eksistensi tolong-menolong (assitulung-tulungéng) yang berupa penyediaan bahan makanan (mappusara), pembuatan tempat pesta pernikahan (massarapo), dan proses penyatuan antara laki-laki dan perempuan termasuk penyatuan keluarga (mappasilorongéng) dalam prosesi pernikahan masyarakat Bugis merupakan perwujudan hasil sosialisasi nilai-nilai situru’ dan siturungéng yang telah lama eksis dalam lingkungan masyarakat Bugis di Kelurahan Bungkutoko. Selanjutnya eksistensi dari kedua nilai tersebut sangat dipengaruhi oleh eksistensi filosofi rebba sipatokkong dan mali siparappe sebagai asumsi dasar dari budaya assitulung-tulungéng, serta yang tidak kalah pentingnya adalah ajaran agama yang tertuang dalam Al-Quran dan Hadist.
Secara kontekstual eksistensi budaya mappasilorongéng didasarkan pada nilai situru’, dalam pengertian bahwa pernikahan pada masyarakat Bugis merupakan proses yang melibatkan kesepakatan antara keluarga inti dan anak. Tanpa adanya kesepakatan di antara keduanya, pernikahan tidak akan dilangsungkan karena tidak dipandang memiliki nilai status sosial yang tinggi. Keluarga sebagai pranata sosial dalam masyarakat secara fungsional akan memberikan kontribusi terhadap eksistensi budaya ini, sehingga ketika terjadi disfungsional dalam pengertian tidak terjadi kesepakatan (situru’), maka akan menjadi salah satu faktor terjadinya kawin lari (silariang). Sementara bentuk budaya mappusara, dan massarapo didasarkan pada nilai siturungéng, dalam pengertian bahwa pekerjaan menyiapkan bahan makanan dan berbagai kelengkapan dalam prosesi pernikahan sangat dibutuhkan kerja sama dari kerabat dan tetangga. Singkatnya, hanya dengan cara saling mendatangi dan memberi bantuan kepada pihak keluarga mempelai prosesi ini dapat dilaksanakan dengan baik.
Secara sosiologis, nilai situru’ dan siturungéng merupakan dasar terciptanya solidaritas sosial. Solidaritas dalam konteks penelitian ini adalah keterikatan erat antara individu yang satu dengan individu yang lain pada situasi sosial tertentu. Solidaritas yang muncul dalam setiap kelompok masyarakat disebabkan adanya beberapa persamaan, seperti persamaan kebutuhan, keturunan, dan tempat tinggal. Solidaritas menurut Johnson (1986) menunjuk pada suatu hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut dan di perkuat oleh pengalaman emosional bersama, ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional.
Solidaritas dalam perspektif masyarakat Bugis disebut sebagai assimelleréng. Assimelleréng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat yang lain, para tetangga sekitar, memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, dan setia kawan. Lontara sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi, solidaritas antar sesama manusia, berusaha membantu orang, dan suka menolong. Dalam Lontara sebagaimana yang dimuat dalam website rappang, dengan topik Assimelleréng disebutkan “iya padecengi assiajingéng: sianrasa-rasannge nasiammase-maseie; sipakario-rio; tessicirinnaiannge risitinajae”. Artinya, yang memperbaiki hubungan kekeluargaan adalah sependeritaan dan kasih-mengasihi; saling menggembirakan; merelakan harta benda dalam batas-batas kewajaran.
Dari pengertian di atas dapat diambil beberapa hal yang menjadi ciri-ciri suatu masyarakat Bugis, yaitu saling berinteraksi, mempunyai ikatan, pola tingkah laku yang khas tentang semua faktor kehidupan dalam batas kesatuan, rasa identitas diantara warga yang dapat menunjukkan perbedaan dengan masyarakat lain. Dalam peristiwa kehidupan sosial sehari-hari, individu sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, memiliki kewajiban untuk menyatu dalam tujuan masyarakat itu sendiri. Kenyataan ini tidak terbantahkan jika dilihat pada bentuk kehidupan masyarakat, baik masyarakat dalam bentuk organis maupun  dalam  bentuk mekanis. Hal ini di karenakan kehidupan masyarakat merupakan suatu model kehidupan yang saling mengisi antara satu dengan yang lainnya.
Dalam perspektif kajian sosio-antropologis, konsep assitulung-tulungéng pada pesta pernikahan masyarakat Bugis dapat diformulasikan ke dalam dua pandangan teoretis. Pertama, budaya assitulung-tulungéng dipandang sebagai sistem adaptasi suatu kelompok masyarakat terhadap lingkungannya. Budaya assitulung-tulungéng ditempatkan sebagai keseluruhan cara hidup suatu masyarakat yang diwariskan, dipelihara, dan dikembangkan secara turun temurun sesuai dengan tuntutan lingkungan yang tengah dihadapi. Kedua, budaya assitulung-tulungéng dipandang sebagai suatu sistem makna dideskripsikan laksana kulit bawang yang tersusun secara berlapis-lapis. Schein dalam bukunya yang berjudul Organizational Culture and Leadership (1985) menyebutkan susunan tersebut, yakni the outer layer, the middle layer, dan the core. Lapisan luar (the outer layer) yang berupa produk-produk eksplisit dari suatu budaya sebagaimana yang tercermin pada berbagai jenis budaya materil sebagaimana yang digunakan dalam proses pernikahan. Selanjutnya lapisan tengah (the middle layer) yang meliputi norma-norma dan nilai-nilai yang dianggap sebagai suatu sistem nilai baik atau buruk, yakni nilai-nilai situru’ dan siturungéng. Sedangkan lapisan inti (the core) berupa anggapan-anggapan dasar tentang eksistensi budaya itu sendiri. Lapisan intilah yang menjadi pandangan hidup yang membedakan suatu kelompok masyarakat.
E.     SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi assitulung-tulungéng dalam prosesi pernikahan pada masyarakat Bugis khususnya di Kelurahan Bungkutoko didasarkan pada dua nilai pokok, yakni nilai situru’ dan siturungéng. Nilai situru’ tumbuh, berkembang, dan dipertahankan dalam lingkungan keluarga inti dan kaum kerabat. Sementara nilai Siturungéng eksis dalam domain tetangga kampung dan para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Huberman, A. Michael dan Matthew B. Miles. 1992. Analisis Data Kualitatif. UII Press, Jakarta.
Johnson, Paul Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
--------------. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Mattulada. 1995. Latoa, Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Millar, Susan Bolyard. 2009. Perkawinan Bugis (terjemahan). Makassar: Ininnawa.
Pelras, C. 2006. Manusia Bugis (terjemahan). Jakarta: Nalar.
Sapada, A.N. 1985. Tata Rias Pengantin dan Tata Cara Perkawinan Bugis Makassar. Ujung Pandang: Agung Lestari.
Schein, Edgar H. 1985. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.
Spranger, E. 1928. The Types of Men: The Psychology and Ethics of Personality. Max Niemeyer Verlag: Halle.


[1] Jurnal Sumber Daya Insani Universitas Muhammadiyah Kendari, edisi Juli No. 20 Tahun 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar