Selasa, 27 Maret 2012

Perencanaan Pembangunan


Perencanaan berasal dari kata rencana yang berarti rancangan atau rangka sesuatu yang akan dikerjakan. Dari pengertian sederhana tersebut dapat diuraikan beberapa komponen penting. Pertama, tujuan yakni apa yang hendak dicapai. Kedua, kegiatan yakni tindakan-tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan tujuan. Ketiga, waktu, yakni kapan kegiatan tersebut akan dilakukan. Menurut Tjokroamidjojo (1977), bahwa perencanaan merupakan suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Senada dengan pandangan Tjokroamidjojo, Kunarjo (2002) mengarti-kan perencanaan sebagai penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang akan diarahkan pada tujuan tertentu.
Gans sebagaimana yang dikutip oleh Jones (1991) perencanaan sosial didefinisikan sebagai suatu metode untuk membuat suatu keputusan yang mengusulkan atau mendefinisikan tujuan atau sasaran menentukan cara atau program untuk mencapai atau yang diperkirakan untuk mencapai akhir, dan dilaksanakan dengan teknik analisis untuk menemukan kesesuaian antara tujuan dan cara dan konsekuensi dalam menjalankan alternatif tujuan. Tidak jauh berberda dengan pengertian yang dikemukakan oleh Nitisastro (1963) bahwa salah satu kegiatan penting dalam suatu usaha pembangunan berencana adalah perencanaan pembangunan. Menurutnya perencanaan pada asasnya berkisar kepada dua hal. Pertama, penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan-tujuan konkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai-nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Kedua, pilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Dalam perspektif daerah, Syahroni (2002) memberikan pengertian khusus tentang perencanaan pembangunan daerah sebagai suatu usaha yang sistematis dari berbagai pelaku, baik umum maupun pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek-aspek fisik, sosial-ekonomi, dan aspek-aspek lingkungan lainnya dengan cara menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah, merumuskan tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan pembangunan daerah, menyusun konsep strategi-strategi bagi pemecahan masalah, dan melaksanakannya dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia sehingga peluang-peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan.
Dengan demikian, jika disimak secara cermat dari pengertian perencanaan, maka akan ditemukan setidaknya lima hal penting. Pertama, perencanaan senantiasa diarahkan pada tujuan yang ingin dicapai. Kedua, terdapat jangka waktu tertentu untuk mencapai tujuan. Ketiga, perencanaan senantiasa dihubungkan antara berbagai permasalahan dengan berbagai sumber daya yang dimiliki. Keempat, perencanaan semestinya memilih alternatif kebijakan yang terbaik. Kelima, perencanaan mengandung program-program dan usaha-usaha yang nyata. Dari berbagai komponen penting dari perencanaan tersebut dapat dikatakan bahwa perencanaan merupakan salah satu tahapan dari pembangunan. Oleh karena itu, pada hakekatnya perencanaan terdapat pada setiap jenis usaha manusia. Perencanaan dapat juga diartikan sebagai suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maksimum out put) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif.
Proses Perencanaan Pembangunan
Terkadang kita jumpai masyarakat awan memaknai perencanaan sebagai suatu tahapan menyusun berbagai kegiatan semata. Pemahaman yang demikian tidak sepenuhnya disalahkan, namun perlu diluruskan sehingga tiba pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang perencanaan pembangunan. Oleh karena pembangunan tidak pernah mencapai titik jenuh, maka proses perencanaannya pun demikian, akan merupakan usaha yang sistematis secara kontinu. Nordhaus mengartikan proses perencanaan (planning process) sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, yang diawali dengan pemilihan tujuan sosial, kemudian menetapkan berbagai target ekonomi yang diusul dengan menyusun suatu kerangka kerja bagi kegiatan-kegiatan implementasi, koordinasi, dan pemantauan rencana pembangunan (Todaro dan Smith, 2006).
Selain dari pandangan di atas, Dimock dkk. (1986) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu proses langkah-langkah yang saling berhubungan yang meliputi tahapan-tahapan yakni: identifikasi kriteria-kriteria suatu problema, penetapan tujuan, penentuan sasaran, pengidentifikasian kriteria-kriteria evaluasi, pengidentifikasian usulan-usulan alternatif, menaksir biaya setiap alternatif, perkiraan efektivitas setiap alternatif, dan memilih alternatif yang akan digunakan. Dengan demikian, perencanaan sebagai suatu kebijakan merupakan proses kegiatan usaha yang dilakukan secara terus menerus dan komprehensif serta memiliki tahapan yang sistematis. Secara rinci Tjokroamidjojo (1977) menguraikan tahap-tahap dalam suatu proses perencanaan yang meliputi penyusunan rencana, penyusunan program rencana, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Pertama, penyusunan rencana meliputi unsur-unsur tinjauan keadaan (review) yang dapat berupa tinjauan sebelum memulai suatu rencana maupun tinjauan terhadap pelaksanaan rencana sebelumnya. Pada tahap ini pula dilakukan perkiraan keadaan masa yang akan dilalui rencana (forecasting), karena itu dibutuhkan berbagai informasi untuk mengetahui kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Informasi yang diperlukan dapat berupa data statistik dan hasil penelitian terdahulu yang relevan. Setelah semua perkiraan dilakukan, maka selanjutnya penetapan tujuan rencana (plan objectives) dan pemilihan cara-cara pencapaian tujuan rencana.  Unsur kegiatan berikutnya adalah mengidentifikasi kebijakan (policy) yang perlu dilakukan. Operasionalisasi unsur ini perlu didasarkan pada pilihan alternatif terbaik dan skala prioritas. Setelah seluruh unsur kegiatan dinilai tuntas, maka unsur kegiatan yang terakhir dari tahapan penyusunan rencana adalah pengambilan keputusan (decision making) sebagai persetujuan atas suatu rencana.
Kedua, penyusunan program rencana yang dilakukan melalui perumusan yang lebih terperinci mengenai tujuan atau sasaran dalam jangka waktu tertentu, suatu perincian jadwal kegiatan, jumlah dan jadwal pembiayaan serta penentuan lembaga atau kerja sama antarlembaga mana yang akan melakukan program-program pembangunan. Tahap ini seringkali perlu dibantu dengan penyusunan suatu tahap flow chart, operation plan atau network plan.
Ketiga, pelaksanaan rencana (implementasi). Implementasi menurut Salusu (1996), adalah seperangkat kegiatan yang dilakukan menyusul suatu keputusan, atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai sasaran tertentu.
Keempat, pengawasan atas pelaksanaan rencana yang bertujuan untuk mengusahakan supaya pelaksanaan rencana berjalan sesuai dengan rencana, apabila terdapat penyimpangan maka perlu diketahui seberapa jauh penyimpangan tersebut dan apa sebabnya serta dilakukannya tindakan korektif terhadap adanya penyimpangan. Untuk maksud tersebut, maka diperlukan suatu sistem monitoring dengan mengusahakan pelaporan dan feedback yang baik daripada pelaksana rencana. Berdasarkan pelakunya, pengawasan dapat dibedakan ke dalam empat macam jenis pengawasan, yakni pengawasan melekat, pengawasan fungsional, pengawasan masyarakat, dan pengawasan legislatif.
Pengawasan melekat adalah pengawasan terhadap program yang dilakukan secara langsung oleh atasan terhadap bawahannya yang bersifat preventif dan represif serta kontinue. Sementara pengawasan fungsional dilaksanakan oleh aparat baik secara internal maupun eksternal yang ditunjuk khusus (exclusively assigned) untuk melakukan audit secara independen. Lain halnya dengan pengawasan masyarakat yang merupakan bentuk kontrol sosial baik secara langsung maupun dalam bentuk pemberitaan melalui media massa. Sedangkan pengawasan legislatif yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislatif yang memang memiliki fungsi pengawasan, selain fungsi legislasi dan anggaran.
Kelima, evaluasi untuk membantu kegiatan pengawasan, yang dilakukan melalui suatu tinjauan yang berjalan secara terus menerus (concurrent review). Di samping itu, evaluasi juga dapat dilakukan sebagai pendukung tahap penyusunan rencana yakni evaluasi sebelum rencana dimulai dan evaluasi tentang pelaksanaan rencana sebelumnya. Dari hasil evaluasi ini dapat dilakukan perbaikan terhadap perencanaan selanjutnya atau penyesuaian yang diperlukan dalam (pelaksanaan) perencanaan itu sendiri.
Dalam pengertian tersebut, terkandung makna bahwa pada hakekatnya aspek perencanaan senantiasa terdapat dalam setiap jenis usaha manusia. Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya  (maximum out put) dengan memberdayakan sumber daya yang ada agar tujuan dapat tercapai secara efisien dan efektif. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perencanaan tidak dapat terlepas dari kegiatan pengambilan keputusan dan penentuan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Melihat berbagai tahapan perencanaan di atas, tampaknya penyusunan perencanaan merupakan pekerjaan yang kompleks dan rumit. Untuk menyelesaikan kompleksitas kegiatan perencanaan tersebut dibutuhkan partisipasi segenap stakeholders, sebut saja misalnya dari kalangan politisi, cendekiawan, kalangan bisnis, dan tentu saja partispasi masyarakat tanpa terkecuali, sehingga tidak hanya sekedar sebagai objek pembangunan tetapi juga menjadi subjek atau pelaku pembangunan. Untuk melancarkan proses pelaksanaan perencanaan pembangunan, maka setidaknya terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan. Kunarjo (2002) dalam bukunya yang berjudul perencanaan dan pengendalian program pembangunan menyebutkan beberapa syarat yang dimaksud.
Pertama, perencanaan harus didasarkan pada tujuan pembangunan. Pada umumnya hampir di beberapa negara yang sedang berkembang memiliki tujuan pembangunan yang relatif sama, yakni meliputi hal penting diantaranya: meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pemera-taan pendapatan masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja, dan meningkatkan pemerataan pembangunan antardaerah. Dari berbagai tujuan ini, tidak seluruhnya saling mendukung, dalam artian bahwa ketika peningkatan pertumbuhan ekonomi tercapai yang ditandai dengan penggunaan teknologi tinggi, maka di lain pihak penggunaan teknologi tersebut dapat menghilangkan kesempatan kerja seseorang. Sebagai contoh, pemanfaatan teknologi pertanian di sisi lain berhasil meningkatkan produktivitas petani, namun di sisi lain merampas peluang kerja para buruh tani. Dengan demikian keberhasilan pertumbuhan ekonomi tidak selamanya paralel dengan  pemerataan pendapatan. Hubungan kedua variabel ekonomi ini senantiasa mengalami kontradiksi.
Kedua, perencanaan harus konsisten dan realistis. Syarat ini mengandung makna bahwa perencanaan idealnya sebagai suatu proyeksi ke depan senantiasa memperhitungkan keadaan masa kini dan plus minus masa lalu. Keadaan masa kini yang dimaksud adalah potensi yang dimiliki, baik dalam bentuk sumber daya manusia, sumber daya alam, termasuk sumber daya modal yang diharapkan mampu merealisasikan rencana yang telah dirumuskan. Demikian pula plus minus masa lalu tidak boleh terabaikan, karena keadaan ini memberikan gambaran letak keberhasilan dan kegagalan di masa lampau. Gambaran tentang gagal tidaknya di masa lalu merupakan potensi untuk mengetahui kendala yang mungkin saja terjadi pada pelaksanaan program berikutnya.
Ketiga, perencanaan harus dibarengi dengan pengawasan yang kontinu. Keberhasilan perencanaan ke dalam bentuk implementasi yang optimal sejatinya dapat dicapai dengan adanya pengawasan. Pengawasan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dengan perencanaan dan implementasi, karena tanpa pengawasan atau kontrol, maka mungkin saja dapat terjadi penyimpangan-penyimpangan atas rencana yang telah ditetapkan. Pengawasan dapat dilakukan melalui cara preventif dan represif. Pengawasan yang bersifat preventif (pencegahan) adalah pengawasan yang “melekat” dalam perencanaan itu sendiri. Sedangkan pengawasan represif dapat dilakukan dari kalangan internal pimpinan kepada bawahan-nya atau secara eksternal oleh badan pengawas dari luar instansi yang bersangkutan.
Keempat, perencanaan harus mencakup aspek fisik dan pembiayaan. Syarat ini memberikan pengertian bahwa antara sasaran apa yang akan dicapai seharusnya sesuai dengan besarnya pengeluaran dana yang dibutuhkan, ataupun sebaliknya. Dalam perencanaan sejatinya mengoptimalkan pencapaian hasil sebagaimana besarnya pembiayaan yang dikeluarkan.
Kelima, para perencana harus memahami berbagai perilaku dan hubungan antarvariabel ekonomi. Pembangunan yang senantiasa menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia, maka dari itu perencanaan pun sebaiknya memahami berbagai variabel dalam dimensi kehidupan manusia. Masing-masing aspek atau variabel memiliki ciri yang berbeda-beda, dan karena itulah diperlukan adanya saling koordinasi antarvariabel satu sama lain. Hubungan antarvariabel tersebut dapat bersifat kausal dan bersifat fungsional. Hubungan kausal yang dimaksud adalah perubahan yang terjadi pada satu variabel dapat berdampak terhadap variabel lainnya, namun tidak terjadi sebaliknya (sebab akibat). Sementara hubungan fungsional adalah hubungan antara dua variabel atau lebih yang saling memengaruhi secara timbal balik.
Fungsi perencanaan tidak hanya pada permulaan kegiatan tetapi bersifat menyeluruh mulai dari persiapan dan pelaksanaan sampai kepada penyelesaian, bahkan juga berguna pasca peleksanaan. Untuk kebenaran pencapaian tujuan, fungsi perencanaan dapat dibedakan atas tiga yakni sebagai tolok ukur, ketaatan, dan rujukan (Sitanggang, 1999).
Titik tolak yang dimaksudkan dalam fungsi perencanaan yakni sebagai titik pangkal dari kegiatan yang meliputi pengaturan prosedur, waktu, dana, dan sumber daya. Dengan fungsi ini, maka perencanaan selain mempunyai sifat penyesuaian juga terdapat fleksibilitas untuk mengatasi berbagai permasalahan serta penyesuaian dengan berbagai alternatif yang sudah ditentukan di dalam perencanaan. Dalam proses penyesuaian tersebut didasarkan pada pertimbangan yang bersifat internal dan eksternal. Atas dasar fungsi ini dapat diketahui apa yang disebut dengan salah perencanaan atau penyimpangan, perubahan kebijakan, penyesuaian teknis dan lain-lain sehingga tidak semua bentuk perubahan dapat dikategorikan ke dalam fleksibilitas perencanaan.
Selain sebagai titik pangkal, perencanaan juga berfungsi sebagai ikatan disiplin yang harus ditaati. Implementasi yang tidak didasarkan pada perencanaan berarti tidak mengikuti atau tidak mentaati perencanaan yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian, tingkat keberhasilan suatu perencanaan dapat diketahui dari sejauh mana ketentuan perencanaan dijalankan dalam pelaksanaan untuk mencapai tujuan. Ketaatan yang terkandung dalam fungsi perencanaan mencakup beberapa aspek penting, diantaranya ketaatan terhadap susunan prioritas, ketaatan pengorganisasian secara legal formalistis, termasuk ketaatan penggunaan dana, metode, dan prosedur.
Perencanaan dan implementasi merupakan dua rangkaian proses yang saling terkait. Karena itu, implementasi atau pelaksanaan merupakan gambaran dari perencanaan yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam pengertian ini, perencanaan mempunyai fungsi sebagai rujukan.
Klasifikasi Perencanaan
Perencanaan pembangunan dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa dimensi, diantaranya: dimensi pendekatan dan koordinasi, dimensi waktu, dan dimensi arus penyunan. Ketiga klasifikasi ini akan diuraikan pada pembahasan berikut ini.
Dimensi pendekatan dan koordinasi
Pertama, perencanaan pembangunan makro adalah perencanaan pembangunan nasional dalam skala menyeluruh. Dalam perencanaan makro ini dikaji berapa pesat pertumbuhan ekonomi dapat dan akan direncanakan, berapa besar tabungan masyarakat dan pemerintah akan tumbuh, bagaimana proyeksinya, dan hal-hal lainnya secara makro dan menyeluruh. Kajian ini dilakukan untuk menentukan tujuan dan sasaran yang mungkin dicapai dalam jangka waktu rencana, dengan memperhitungkan berbagai variabel ekonomi mikro. Perencanaan makro ini dilakukan dengan melihat dan memperhitungkan secara cermat keterkaitannya dengan perencanaan sektoral dan regional.
Kedua, perencanaan sektoral adalah perencanaan yang dilakukan dengan pendekatan berdasarkan sektor. Yang dimaksud dengan sektor adalah kumpulan dari kegiatan-kegiatan atau program yang mempunyai persamaan ciri-ciri serta tujuannya. Pembagian menurut klasifikasi fungsional seperti sektor, maksudnya untuk mempermudah perhitungan-perhitungan dalam mencapai sasaran makro. Sektor-sektor ini kecuali mempunyai ciri-ciri yang berbeda satu sama lain, juga mempunyai daya dorong yang berbeda dalam mengantisipasi investasi yang dilakukan pada masing-masing sektor. Meskipun pendekatan ini menentukan kegiatan tertentu, oleh instansi tertentu, di lokasi tertentu, faktor lokasi pada dasarnya dipandang sebagai tempat atau lokasi kegiatan saja. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan perencanaan lainnya yang terutama bertumpu pada lokasi kegiatan.
Ketiga, perencanaan dengan dimensi pedekatan regional menitikberatkan pada aspek lokasi di mana kegiatan dilakukan. Pemerintah daerah mempunyai kepentingan yang berbeda dengan instansi-instansi di pusat dalam melihat aspek ruang di suatu daerah. Departemen/lembaga pusat dengan visi atau kepentingan yang bertitik berat sektoral melihat lokasi untuk kegiatan, sedangkan pemerintah daerah dengan titik berat pendekatan pembangunan regional (wilayah/daerah) melihat kegiatan untuk lokasi. Kedua pola pikir itu dapat saja menghasilkan hal yang sama, namun sangat mungkin menghasilkan usulan yang berbeda. Pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan daerah mengupayakan pendayagunaan ruang di daerahnya, mengisinya dengan berbagai kegiatan sedemikian rupa sehingga menghasilkan alternatif pembangunan yang terbaik bagi daerah tersebut. Pilihan daerah terhadap alternatif yang tersedia dapat menghasilkan pertumbuhan yang tidak optimal dari sudut pandang sektor yang melihat kepentingan nasional secara sektoral. Berbagai pendekatan tersebut perlu dipadukan dalam perencanaan pembangunan nasional, yang terdiri dari pembangunan sektor-sektor di berbagai daerah, dan pembangunan daerah yang bertumpu pada sektor-sektor.
Keempat, perencanaan mikro adalah perencanaan skala rinci dalam perencanaan tahunan, yang merupakan penjabaran rencana-rencana baik makro, sektoral, maupun regional ke dalam susunan proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan dengan berbagai dokumen perencanaan dan penganggarannya. Secara operasional perencanaan mikro ini antara lain tergambar dalam Daftar Isian Proyek (DIP), Petunjuk Operasional (PO), dan rancangan kegiatan. Perencanaan ini merupakan unsur yang sangat penting, karena pada dasarnya pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan. Efektivitas dan efisiensi yang menjadi masalah nasional sehari-hari dapat ditelusuri penanganannya dalam perencanaan dan pelaksanaan rencana di tingkat mikro.
Dimensi waktu
Perencanaan pembangunan yang didasarkan oleh periode waktu terdiri atas tiga klasifikasi umum. Pertama, perencanaan jangka panjang. Perencanaan jangka panjang sekitar 10 sampai dengan 25 tahun. Perencanaan ini bukan merupakan pedoman kerja yang siap pakai, melainkan keputusan kekuasaan tertinggi yang lebih bersifat dorongan atau motivasi. Jenis perencanaan yang demikian ini bersifat berkesinambungan, tidak dapat diputus-putus. Perencanaan pengentasan kemiskinan, perencanaan keluarga berencana, dan proyek jalan raya merupakan contoh sederhana dari perencanaan jangaka panjang.
Kedua, Sementara perencanaan jangka menengah lazim disebut Repelita, oleh karena periodesasinya dalam kurun waktu 5 tahunan. Perencanaan jangka menengah biasanya dikaitkan dengan kebutuhan secara politis karena jangka waktu disesuaikan dengan jabatan pemerintah yang sedang berjalan.
Ketiga, perencanaan jangka pendek. Perencanaan jangka pendek sering juga dikenal dengan istilah rencana operasional tahunan yang hanya memiliki kurun waktu 1 tahun. Jenis perencanaan ini merupakan operasionalisasi atau penjabaran dari perencanaan jangka menengah ke dalam perencanaan tahunan yang biasanya disesuaikan dengan kemampuan atau kondisi riil suatu daerah tertentu. Kemampuan yang dimaksudkan di sini terkait dengan anggaran (budget) yang populer disebut APBN dan APBD. Dalam pandangan Lewis (1994), rencana tahunan merupakan rencana pengontrol dengan pengertian bahwa ini adalah tahun dimana tahun demi tahun menyesuaikan sumber-sumber daya dengan hasil-hasil yang dapat diperoleh. Singkatnya dalam pandangan Lewis bahwa rencana tahunan merupakan sebuah dokumen operasi. Dengan demikian, sasaran dalam perencanaan jangka pendek tidak menyimpang dari frame work kebijakan yang telah ditentukan dalam perencanaan jangka menengah dan jangka panjang.
Dimensi arus penyusunan
Berdasarkan prosesnya, perencanaan ini dibagi menjadi perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up planning) dan perencanaan dari atas ke bawah (top-down planning). Perencanaan dari bawah ke atas dianggap sebagai pendekatan perencanaan yang seharusnya diikuti karena dipandang lebih didasarkan pada kebutuhan nyata. Pandangan ini timbul karena perencanaan dari bawah ke atas ini dimulai prosesnya dengan mengenali kebutuhan di tingkat masyarakat yang secara langsung yang terkait dengan pelaksanaan dan mendapat dampak dari kegiatan pembangunan yang direncanakan.
Sedangkan perencanaan dari atas ke bawah adalah pendekatan perencanaan yang menerapkan cara penjabaran rencana induk ke dalam rencana rinci. Rencana rinci yang berada di bawah adalah penjabaran rencana induk yang berada di atas. Pendekatan perencanaan sektoral acapkali ditunjuk sebagai pendekatan perencanaan dari atas ke bawah, karena target yang ditentukan secara nasional dijabarkan ke dalam rencana kegiatan di berbagai daerah di seluruh Indonesia yang mengacu kepada pencapaian target nasional tersebut. Pada tahap awal pembangunan, pendekatan perencanaan ini lebih dominan, terutama karena masih serba terbatasnya sumber daya pembangunan yang tersedia.
Di dalam implementasinya tidak terdapat lagi penerapan penuh pendekatan dari atas ke bawah. Beberapa pertimbangan, misalnya ketersediaan tabungan pemerintah sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan kepentingan sektoral nasional, masih menuntut penerapan pendekatan dari atas ke bawah. Namun, kini pendekatan tersebut tidak lagi sepenuhnya dijalankan karena proses perencanaan rinci menuntut peran serta masyarakat. Untuk itu, diupayakan untuk memadukan pendekatan perencanaan dari atas ke bawah dengan perencanaan dari bawah ke atas. Secara operasional pendekatan perencanaan tersebut ditempuh melalui mekanisme yang disebut Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D) dengan memanfaatkan forum-forum Musyawarah Pembangunan (Musbang) Desa, Musbang Kecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Dati II, Rakorbang Dati I, Konsultasi Regional Pembangunan (Konregbang), yaitu Dati I sepulau/kawasan, dan puncaknya terjadi pada Konsultasi Nasional Pembangunan (Konasbang). Di setiap tingkat diupayakan untuk mengadakan koordinasi perencanaan sektoral dan regional. Usulan atau masalah yang lintas wilayah atau lintas sektoral yang tidak dapat diselesaikan di suatu tingkat dibawa ke tingkat di atasnya. Proses berjenjang ini diharapkan dapat mempertajam analisis di berbagai tingkat forum konsultasi perencanaan pembangunan tersebut. Dengan demikian, perencanaan dari atas ke bawah yang memberikan gambaran tentang perkiraan-perkiraan dan kemungkinan-kemungkinan yang ada diinformasikan secara berjenjang, sehingga proses perencanaan dari bawah ke atas diharapkan sejalan dengan yang ditunjukkan dari atas ke bawah.

Karakteristik Masyarakat Pedesaan


Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.
Kita dapat membedakan antara masyarakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan berlawanan pula.
Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T.L. Smith & P.E. Zop, 1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota, yaitu:
1.      Mata pencaharian,
2.      Ukuran komunitas
3.      Tingkat kepadatan penduduk
4.      Lingkungan
5.      Differensiasi sosial
6.      Stratifikasi sosial
7.      Interaksi sosial
8.      Solidaritas sosial.
Secara umum, dalam kehidupan masyarakat di pedesaan dapat dilihat dari beberapa karakterisrik yang mereka miliki, sebagaimana yang dikemukakan Roucek & Warren (1963), masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.      Mereka memiliki sifat yang homogen dalam hal mata pencaharian, nilai-nilai dalam kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku.
2.  Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi. Artinya semua anggota keluarga turut bersama-sama terlibat dalam kegiatan pertanian ataupun mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.
3.      Faktor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada, misalnya keterikatan antara masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya.
4.    Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet daripada di kota, serta jumlah anak yang ada dalam keluarga inti lebih besar.
Sedang menurut Paul H. Landis ciri-ciri masyarakat desa adalah sebagai berikut:
1.      Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
2.      Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan
3.      Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti: iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Selain pandangan tersebut, Rogers (1969) mengemukakan ciri-ciri masyarakat pedesaan yang hampir serupa dengan beberapa pandangan sebelumnya.
1.   Mutual distrust interpersonal relations, yaitu adanya rasa tidak percaya secara timbal balik antara petani satu dengan yang lainnya. Hal ini biasanya terjadi karena anggota komunitas memperebutkan sumber-sumber ekonomi yang sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhannya yang relatif tidak terbatas.
2.  Perceived limited good, yaitu pandangan yang sempit di kalangan petani, sehingga hal-hal yang baik dan kesempatan untuk maju selalu terbatas.
3.  Dependence on hostility towards government authority, adanya keter-gantungan dan sekaligus curiga terhadap pemerintah atau pada unsur-unsur pemerintah
4.   Familism, yaitu adanya rasa kehidupan kekeluargaan, keakraban di antara orang-orang yang memiliki pertalian kekerabatan.
5.   Lack of innovations, yaitu adanya rasa enggan untuk menerima atau menciptakan ide-ide baru. Untuk merubah keadaan ini perlu adanya orang luar (out sider) baik dari pihak pemerintah maupun swasta yang menggerakkan mereka.
6. Fatalism, yaitu gambaran tentang rendahnya wawasan masyarakat desa untuk menanggapi atau merencanakan masa depan mereka. Mereka cenderung memandang bahwa keberhasilan bukan ditentukan oleh kerja kerasnya, melainkan berada pada kekuatan supranatural.
7.  Limited aspiration, yaitu adanya aspirasi atau keinginan yang sangat rendah atau terbatas untuk mencapai masa depan. Aspirasi sosial sesungguhnya berupa gagasan, keinginan, ataupun cita-cita yang dimiliki oleh seseorang mengenai masa yang akan datang di dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya.
8.      Lack of deferred gratification, yaitu kekurangan atau ketiadaan sifat untuk mengekang diri, misalnya kemauan mengorbankan kenikmatan sekarang demi pencapaian keuntungan yang lebih besar di masa depan.
9.      Limited view this world, yaitu keterbatasan cara pandang masyarakat terhadap dunia luar. Hal ini terjadi karena terbatasnya jangkauan masyarakat dalam mengakses informasi yang datang dari luar, seperti yang bersumber dari surat kabar.
10. Low emphaty, yaitu rendahnya keterampilan menangkap peranan orang lain. Rendahnya empati masyarakat disebabkan oleh adanya jarak sosio-psikologis maupun karena terbatasnya pengetahuan, dibanding-kan masyarakat di luar mereka yang lebih maju.
Berdasarkan dari beberapa pandangan di atas, menunjukkan bahwa ada pendapat yang selalu menekankan bahwa desa dianggap sebagai desa pertanian, padahal pada kenyataan ada juga desa yang nonpertanian. Sebagian lagi definisi yang masih menggambarkan desa dengan ideal yang artinya desa secara eksplisit berbeda dengan kota. Dengan banyaknya faktor-faktor eksternal yang masuk dan memengaruhi kehidupan desa maka dapat dikatakan bahwa komunitas desa mulai berkembang ke arah komunitas kota, di mana adat-istiadat, tradisi atau pola kebudayaan tradisional desa mengalami proses perubahan.
 Berbagai pengertian itu tidak dapat diterapkan secara universal untuk desa-desa di Indonesia karena kondisi yang sangat beragam antara satu dengan yang lainnya. Bagi daerah yang lebih maju khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali, antara desa dan kota tidak lagi terdapat perbedaan yang jelas sehingga pengertian dan karakteristik tersebut menjadi tidak berlaku. Namun, bagi daerah yang belum berkembang khususnya desa-desa di luar Pulau Jawa dan Pulau Bali, pengertian tersebut masih cukup relevan.
Karena itu, Howard Newby mengatakan bahwa dalam mempelajari sosiologi pedesaan hendaknya diarahkan pada studi tentang adaptasi masyarakat desa terhadap pengaruh-pengaruh kapitalisme modern yang masuk ke desa. Kendati demikian, setidaknya perbedaan karakteristik tersebut dapat dijadikan acuan sederhana dalam melihat perbedaan masyarakat desa dan kota.