Perencanaan berasal dari kata rencana yang berarti
rancangan atau rangka sesuatu yang akan dikerjakan. Dari pengertian sederhana
tersebut dapat diuraikan beberapa komponen penting. Pertama, tujuan yakni apa yang hendak dicapai. Kedua, kegiatan yakni tindakan-tindakan yang dilakukan untuk
merealisasikan tujuan. Ketiga,
waktu, yakni kapan kegiatan tersebut akan dilakukan. Menurut Tjokroamidjojo (1977), bahwa
perencanaan merupakan suatu proses mempersiapkan secara sistematis
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Senada dengan
pandangan Tjokroamidjojo, Kunarjo (2002) mengarti-kan perencanaan sebagai penyiapan
seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang akan
diarahkan pada tujuan tertentu.
Gans sebagaimana yang dikutip oleh Jones (1991)
perencanaan sosial didefinisikan sebagai suatu metode untuk membuat suatu
keputusan yang mengusulkan atau mendefinisikan tujuan atau sasaran menentukan
cara atau program untuk mencapai atau yang diperkirakan untuk mencapai akhir,
dan dilaksanakan dengan teknik analisis untuk menemukan kesesuaian antara
tujuan dan cara dan konsekuensi dalam menjalankan alternatif tujuan. Tidak jauh
berberda dengan pengertian yang dikemukakan oleh Nitisastro (1963) bahwa salah
satu kegiatan penting dalam suatu usaha pembangunan berencana adalah
perencanaan pembangunan. Menurutnya perencanaan pada asasnya berkisar kepada
dua hal. Pertama, penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan-tujuan konkrit
yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai-nilai yang
dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Kedua, pilihan
di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
Dalam perspektif daerah, Syahroni (2002) memberikan
pengertian khusus tentang perencanaan pembangunan daerah sebagai suatu usaha
yang sistematis dari berbagai pelaku, baik umum maupun pemerintah, swasta
maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi
saling ketergantungan dan keterkaitan aspek-aspek fisik, sosial-ekonomi, dan
aspek-aspek lingkungan lainnya dengan cara menganalisis kondisi dan pelaksanaan
pembangunan daerah, merumuskan tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan
pembangunan daerah, menyusun konsep strategi-strategi bagi pemecahan masalah,
dan melaksanakannya dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia sehingga
peluang-peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat
ditangkap secara berkelanjutan.
Dengan demikian, jika disimak secara cermat dari
pengertian perencanaan, maka akan ditemukan setidaknya lima hal penting. Pertama, perencanaan
senantiasa diarahkan pada tujuan yang ingin dicapai. Kedua, terdapat jangka
waktu tertentu untuk mencapai tujuan. Ketiga, perencanaan senantiasa
dihubungkan antara berbagai permasalahan dengan berbagai sumber daya yang
dimiliki. Keempat, perencanaan semestinya memilih alternatif kebijakan yang
terbaik. Kelima, perencanaan mengandung program-program dan usaha-usaha yang
nyata. Dari berbagai
komponen penting dari perencanaan tersebut dapat dikatakan bahwa perencanaan merupakan
salah satu tahapan dari pembangunan. Oleh karena itu, pada hakekatnya
perencanaan terdapat pada setiap jenis usaha manusia. Perencanaan dapat juga
diartikan sebagai suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maksimum out put) dengan sumber-sumber
yang ada supaya lebih efisien dan efektif.
Proses Perencanaan Pembangunan
Terkadang
kita jumpai masyarakat awan memaknai perencanaan sebagai suatu tahapan menyusun
berbagai kegiatan semata. Pemahaman yang demikian tidak sepenuhnya disalahkan,
namun perlu diluruskan sehingga tiba pada pemahaman yang lebih komprehensif
tentang perencanaan pembangunan. Oleh karena pembangunan tidak pernah mencapai
titik jenuh, maka proses perencanaannya pun demikian, akan merupakan usaha yang
sistematis secara kontinu. Nordhaus mengartikan proses perencanaan (planning process) sebagai rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, yang diawali dengan pemilihan tujuan
sosial, kemudian menetapkan berbagai target ekonomi yang diusul dengan menyusun
suatu kerangka kerja bagi kegiatan-kegiatan implementasi, koordinasi, dan
pemantauan rencana pembangunan (Todaro dan Smith, 2006).
Selain
dari pandangan di atas, Dimock dkk. (1986) mendefinisikan perencanaan sebagai
suatu proses langkah-langkah yang saling berhubungan yang meliputi
tahapan-tahapan yakni: identifikasi kriteria-kriteria suatu problema, penetapan
tujuan, penentuan sasaran, pengidentifikasian kriteria-kriteria evaluasi, pengidentifikasian
usulan-usulan alternatif, menaksir biaya setiap alternatif, perkiraan
efektivitas setiap alternatif, dan memilih alternatif yang akan digunakan. Dengan
demikian, perencanaan sebagai suatu kebijakan
merupakan proses kegiatan usaha yang dilakukan secara terus menerus dan
komprehensif serta memiliki tahapan yang sistematis. Secara rinci Tjokroamidjojo
(1977) menguraikan tahap-tahap dalam suatu proses perencanaan yang meliputi
penyusunan rencana, penyusunan program rencana, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi.
Pertama, penyusunan rencana meliputi unsur-unsur tinjauan keadaan
(review) yang dapat berupa tinjauan sebelum
memulai suatu rencana maupun tinjauan terhadap pelaksanaan rencana sebelumnya. Pada
tahap ini pula dilakukan perkiraan keadaan masa yang akan dilalui rencana (forecasting),
karena itu dibutuhkan berbagai informasi untuk mengetahui kemungkinan yang akan
terjadi di masa yang akan datang. Informasi yang diperlukan dapat berupa data
statistik dan hasil penelitian terdahulu yang relevan. Setelah semua perkiraan
dilakukan, maka selanjutnya penetapan tujuan rencana (plan objectives)
dan pemilihan cara-cara pencapaian tujuan rencana. Unsur kegiatan berikutnya adalah mengidentifikasi
kebijakan (policy) yang perlu
dilakukan. Operasionalisasi unsur ini perlu didasarkan pada pilihan alternatif
terbaik dan skala prioritas. Setelah seluruh unsur kegiatan dinilai tuntas,
maka unsur kegiatan yang terakhir dari tahapan penyusunan rencana adalah pengambilan
keputusan (decision making) sebagai
persetujuan atas suatu rencana.
Kedua, penyusunan program rencana yang dilakukan melalui perumusan
yang lebih terperinci mengenai tujuan atau sasaran dalam jangka waktu tertentu,
suatu perincian jadwal kegiatan, jumlah dan jadwal pembiayaan serta penentuan
lembaga atau kerja sama antarlembaga mana yang akan melakukan program-program
pembangunan. Tahap ini seringkali perlu dibantu dengan penyusunan suatu tahap flow
chart, operation plan atau network plan.
Ketiga, pelaksanaan rencana (implementasi).
Implementasi menurut
Salusu (1996), adalah seperangkat kegiatan yang dilakukan menyusul suatu
keputusan, atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai operasionalisasi dari
berbagai aktivitas guna mencapai sasaran tertentu.
Keempat, pengawasan atas pelaksanaan rencana
yang bertujuan untuk mengusahakan supaya pelaksanaan rencana berjalan sesuai
dengan rencana, apabila terdapat penyimpangan maka perlu diketahui seberapa
jauh penyimpangan tersebut dan apa sebabnya serta dilakukannya tindakan
korektif terhadap adanya penyimpangan. Untuk maksud tersebut, maka diperlukan
suatu sistem monitoring dengan mengusahakan pelaporan dan feedback yang baik daripada pelaksana rencana. Berdasarkan
pelakunya, pengawasan dapat dibedakan ke dalam empat macam jenis pengawasan,
yakni pengawasan melekat, pengawasan fungsional, pengawasan masyarakat, dan
pengawasan legislatif.
Pengawasan melekat adalah pengawasan terhadap program yang
dilakukan secara langsung oleh atasan terhadap bawahannya yang bersifat
preventif dan represif serta kontinue. Sementara pengawasan fungsional
dilaksanakan oleh aparat baik secara internal maupun eksternal yang ditunjuk
khusus (exclusively assigned) untuk melakukan audit
secara independen. Lain halnya dengan pengawasan masyarakat yang merupakan
bentuk kontrol sosial baik secara langsung maupun dalam bentuk pemberitaan
melalui media massa.
Sedangkan pengawasan legislatif yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga
legislatif yang memang memiliki fungsi pengawasan, selain fungsi legislasi dan
anggaran.
Kelima, evaluasi untuk membantu kegiatan
pengawasan, yang dilakukan melalui suatu tinjauan yang berjalan secara terus
menerus (concurrent review). Di samping
itu, evaluasi juga dapat dilakukan sebagai pendukung tahap penyusunan rencana
yakni evaluasi sebelum rencana dimulai dan evaluasi tentang pelaksanaan rencana
sebelumnya. Dari hasil evaluasi ini dapat dilakukan perbaikan terhadap
perencanaan selanjutnya atau penyesuaian yang diperlukan dalam (pelaksanaan)
perencanaan itu sendiri.
Dalam pengertian tersebut, terkandung makna bahwa pada
hakekatnya aspek perencanaan senantiasa terdapat dalam setiap jenis usaha
manusia. Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maximum
out put) dengan memberdayakan sumber daya yang ada agar tujuan dapat
tercapai secara efisien dan efektif. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perencanaan
tidak dapat terlepas dari kegiatan pengambilan keputusan dan penentuan
faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Melihat berbagai tahapan perencanaan di atas, tampaknya penyusunan
perencanaan merupakan pekerjaan yang kompleks dan rumit. Untuk menyelesaikan
kompleksitas kegiatan perencanaan tersebut dibutuhkan partisipasi segenap stakeholders, sebut saja misalnya dari
kalangan politisi, cendekiawan, kalangan bisnis, dan tentu saja partispasi
masyarakat tanpa terkecuali, sehingga tidak hanya sekedar sebagai objek
pembangunan tetapi juga menjadi subjek atau pelaku pembangunan. Untuk
melancarkan proses pelaksanaan perencanaan pembangunan, maka setidaknya
terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan. Kunarjo (2002) dalam bukunya
yang berjudul perencanaan dan pengendalian program pembangunan menyebutkan
beberapa syarat yang dimaksud.
Pertama, perencanaan harus didasarkan pada tujuan pembangunan.
Pada umumnya hampir di beberapa negara yang sedang berkembang memiliki tujuan
pembangunan yang relatif sama, yakni meliputi hal penting diantaranya: meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pemera-taan pendapatan masyarakat,
meningkatkan kesempatan kerja, dan meningkatkan pemerataan pembangunan
antardaerah. Dari berbagai tujuan ini, tidak seluruhnya saling mendukung, dalam
artian bahwa ketika peningkatan pertumbuhan ekonomi tercapai yang ditandai
dengan penggunaan teknologi tinggi, maka di lain pihak penggunaan teknologi
tersebut dapat menghilangkan kesempatan kerja seseorang. Sebagai contoh,
pemanfaatan teknologi pertanian di sisi lain berhasil meningkatkan
produktivitas petani, namun di sisi lain merampas peluang kerja para buruh
tani. Dengan demikian keberhasilan pertumbuhan ekonomi tidak selamanya paralel
dengan pemerataan pendapatan. Hubungan
kedua variabel ekonomi ini senantiasa mengalami kontradiksi.
Kedua, perencanaan harus konsisten dan realistis. Syarat ini
mengandung makna bahwa perencanaan idealnya sebagai suatu proyeksi ke depan senantiasa
memperhitungkan keadaan masa kini dan plus minus masa lalu. Keadaan masa kini
yang dimaksud adalah potensi yang dimiliki, baik dalam bentuk sumber daya
manusia, sumber daya alam, termasuk sumber daya modal yang diharapkan mampu
merealisasikan rencana yang telah dirumuskan. Demikian pula plus minus masa
lalu tidak boleh terabaikan, karena keadaan ini memberikan gambaran letak
keberhasilan dan kegagalan di masa lampau. Gambaran tentang gagal tidaknya di
masa lalu merupakan potensi untuk mengetahui kendala yang mungkin saja terjadi
pada pelaksanaan program berikutnya.
Ketiga, perencanaan harus dibarengi dengan pengawasan yang kontinu.
Keberhasilan perencanaan ke dalam bentuk implementasi yang optimal sejatinya dapat
dicapai dengan adanya pengawasan. Pengawasan merupakan unsur yang tidak dapat
dipisahkan dengan perencanaan dan implementasi, karena tanpa pengawasan atau
kontrol, maka mungkin saja dapat terjadi penyimpangan-penyimpangan atas rencana
yang telah ditetapkan. Pengawasan dapat dilakukan melalui cara preventif dan
represif. Pengawasan yang bersifat preventif (pencegahan) adalah pengawasan
yang “melekat” dalam perencanaan itu sendiri. Sedangkan pengawasan represif
dapat dilakukan dari kalangan internal pimpinan kepada bawahan-nya atau secara
eksternal oleh badan pengawas dari luar instansi yang bersangkutan.
Keempat, perencanaan harus mencakup aspek fisik dan pembiayaan.
Syarat ini memberikan pengertian bahwa antara sasaran apa yang akan dicapai
seharusnya sesuai dengan besarnya pengeluaran dana yang dibutuhkan, ataupun
sebaliknya. Dalam perencanaan sejatinya mengoptimalkan pencapaian hasil
sebagaimana besarnya pembiayaan yang dikeluarkan.
Kelima, para perencana harus memahami berbagai perilaku dan
hubungan antarvariabel ekonomi. Pembangunan yang senantiasa menyentuh seluruh
aspek kehidupan manusia, maka dari itu perencanaan pun sebaiknya memahami
berbagai variabel dalam dimensi kehidupan manusia. Masing-masing aspek atau
variabel memiliki ciri yang berbeda-beda, dan karena itulah diperlukan adanya
saling koordinasi antarvariabel satu sama lain. Hubungan antarvariabel tersebut
dapat bersifat kausal dan bersifat fungsional. Hubungan kausal yang dimaksud
adalah perubahan yang terjadi pada satu variabel dapat berdampak terhadap
variabel lainnya, namun tidak terjadi sebaliknya (sebab akibat). Sementara
hubungan fungsional adalah hubungan antara dua variabel atau lebih yang saling
memengaruhi secara timbal balik.
Fungsi perencanaan tidak hanya pada
permulaan kegiatan tetapi bersifat menyeluruh mulai dari persiapan dan
pelaksanaan sampai kepada penyelesaian, bahkan juga berguna pasca peleksanaan.
Untuk kebenaran pencapaian tujuan, fungsi perencanaan dapat dibedakan atas tiga
yakni sebagai tolok ukur, ketaatan, dan rujukan (Sitanggang, 1999).
Titik tolak yang dimaksudkan dalam
fungsi perencanaan yakni sebagai titik pangkal dari kegiatan yang meliputi
pengaturan prosedur, waktu, dana, dan sumber daya. Dengan fungsi ini, maka
perencanaan selain mempunyai sifat penyesuaian juga terdapat fleksibilitas
untuk mengatasi berbagai permasalahan serta penyesuaian dengan berbagai
alternatif yang sudah ditentukan di dalam perencanaan. Dalam proses penyesuaian
tersebut didasarkan pada pertimbangan yang bersifat internal dan eksternal.
Atas dasar fungsi ini dapat diketahui apa yang disebut dengan salah perencanaan
atau penyimpangan, perubahan kebijakan, penyesuaian teknis dan lain-lain
sehingga tidak semua bentuk perubahan dapat dikategorikan ke dalam
fleksibilitas perencanaan.
Selain sebagai titik pangkal,
perencanaan juga berfungsi sebagai ikatan disiplin yang harus ditaati.
Implementasi yang tidak didasarkan pada perencanaan berarti tidak mengikuti
atau tidak mentaati perencanaan yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian,
tingkat keberhasilan suatu perencanaan dapat diketahui dari sejauh mana
ketentuan perencanaan dijalankan dalam pelaksanaan untuk mencapai tujuan.
Ketaatan yang terkandung dalam fungsi perencanaan mencakup beberapa aspek
penting, diantaranya ketaatan terhadap susunan prioritas, ketaatan
pengorganisasian secara legal formalistis, termasuk ketaatan penggunaan dana,
metode, dan prosedur.
Perencanaan dan implementasi merupakan
dua rangkaian proses yang saling terkait. Karena itu, implementasi atau
pelaksanaan merupakan gambaran dari perencanaan yang telah dirumuskan
sebelumnya. Dalam pengertian ini, perencanaan mempunyai fungsi sebagai rujukan.
Klasifikasi Perencanaan
Perencanaan pembangunan dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa dimensi,
diantaranya: dimensi pendekatan dan koordinasi, dimensi waktu, dan dimensi arus
penyunan. Ketiga klasifikasi ini akan diuraikan pada pembahasan berikut ini.
Dimensi pendekatan dan koordinasi
Pertama, perencanaan pembangunan makro adalah perencanaan
pembangunan nasional dalam skala menyeluruh. Dalam perencanaan makro ini dikaji
berapa pesat pertumbuhan ekonomi dapat dan akan direncanakan, berapa besar
tabungan masyarakat dan pemerintah akan tumbuh, bagaimana proyeksinya, dan
hal-hal lainnya secara makro dan menyeluruh. Kajian ini dilakukan untuk
menentukan tujuan dan sasaran yang mungkin dicapai dalam jangka waktu rencana,
dengan memperhitungkan berbagai variabel ekonomi mikro. Perencanaan makro ini
dilakukan dengan melihat dan memperhitungkan secara cermat keterkaitannya
dengan perencanaan sektoral dan regional.
Kedua, perencanaan sektoral adalah perencanaan yang dilakukan
dengan pendekatan berdasarkan sektor. Yang dimaksud dengan sektor adalah
kumpulan dari kegiatan-kegiatan atau program yang mempunyai persamaan ciri-ciri
serta tujuannya. Pembagian menurut klasifikasi fungsional seperti sektor,
maksudnya untuk mempermudah perhitungan-perhitungan dalam mencapai sasaran
makro. Sektor-sektor ini kecuali mempunyai ciri-ciri yang berbeda satu sama
lain, juga mempunyai daya dorong yang berbeda dalam mengantisipasi investasi
yang dilakukan pada masing-masing sektor. Meskipun pendekatan ini menentukan
kegiatan tertentu, oleh instansi tertentu, di lokasi tertentu, faktor lokasi
pada dasarnya dipandang sebagai tempat atau lokasi kegiatan saja. Pendekatan
ini berbeda dengan pendekatan perencanaan lainnya yang terutama bertumpu pada
lokasi kegiatan.
Ketiga, perencanaan dengan dimensi pedekatan regional menitikberatkan
pada aspek lokasi di mana kegiatan dilakukan. Pemerintah daerah mempunyai
kepentingan yang berbeda dengan instansi-instansi di pusat dalam melihat aspek
ruang di suatu daerah. Departemen/lembaga pusat dengan visi atau kepentingan
yang bertitik berat sektoral melihat lokasi untuk kegiatan, sedangkan
pemerintah daerah dengan titik berat pendekatan pembangunan regional
(wilayah/daerah) melihat kegiatan untuk lokasi. Kedua pola pikir itu dapat saja
menghasilkan hal yang sama, namun sangat mungkin menghasilkan usulan yang
berbeda. Pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan daerah mengupayakan
pendayagunaan ruang di daerahnya, mengisinya dengan berbagai kegiatan
sedemikian rupa sehingga menghasilkan alternatif pembangunan yang terbaik bagi daerah
tersebut. Pilihan daerah terhadap alternatif yang tersedia dapat menghasilkan
pertumbuhan yang tidak optimal dari sudut pandang sektor yang melihat
kepentingan nasional secara sektoral. Berbagai pendekatan tersebut perlu
dipadukan dalam perencanaan pembangunan nasional, yang terdiri dari pembangunan
sektor-sektor di berbagai daerah, dan pembangunan daerah yang bertumpu pada
sektor-sektor.
Keempat, perencanaan mikro adalah perencanaan skala rinci dalam
perencanaan tahunan, yang merupakan penjabaran rencana-rencana baik makro,
sektoral, maupun regional ke dalam susunan proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan
dengan berbagai dokumen perencanaan dan penganggarannya. Secara operasional
perencanaan mikro ini antara lain tergambar dalam Daftar Isian Proyek (DIP), Petunjuk
Operasional (PO), dan rancangan kegiatan. Perencanaan ini merupakan unsur yang
sangat penting, karena pada dasarnya pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan.
Efektivitas dan efisiensi yang menjadi masalah nasional sehari-hari dapat
ditelusuri penanganannya dalam perencanaan dan pelaksanaan rencana di tingkat
mikro.
Dimensi waktu
Perencanaan pembangunan yang didasarkan oleh periode waktu terdiri
atas tiga klasifikasi umum. Pertama, perencanaan jangka panjang. Perencanaan
jangka panjang sekitar 10 sampai dengan 25 tahun. Perencanaan ini bukan
merupakan pedoman kerja yang siap pakai, melainkan keputusan kekuasaan
tertinggi yang lebih bersifat dorongan atau motivasi. Jenis perencanaan yang
demikian ini bersifat berkesinambungan, tidak dapat diputus-putus. Perencanaan
pengentasan kemiskinan, perencanaan keluarga berencana, dan proyek jalan raya
merupakan contoh sederhana dari perencanaan jangaka panjang.
Kedua, Sementara perencanaan jangka menengah lazim disebut
Repelita, oleh karena periodesasinya dalam kurun waktu 5 tahunan. Perencanaan jangka
menengah biasanya dikaitkan dengan kebutuhan secara politis karena jangka waktu
disesuaikan dengan jabatan pemerintah yang sedang berjalan.
Ketiga, perencanaan jangka pendek. Perencanaan jangka pendek sering
juga dikenal dengan istilah rencana operasional tahunan yang hanya memiliki
kurun waktu 1 tahun. Jenis perencanaan ini merupakan operasionalisasi atau penjabaran
dari perencanaan jangka menengah ke dalam perencanaan tahunan yang biasanya
disesuaikan dengan kemampuan atau kondisi riil suatu daerah tertentu. Kemampuan
yang dimaksudkan di sini terkait dengan anggaran (budget) yang populer disebut APBN dan APBD. Dalam pandangan Lewis
(1994), rencana tahunan merupakan rencana pengontrol dengan pengertian bahwa
ini adalah tahun dimana tahun demi tahun menyesuaikan sumber-sumber daya dengan
hasil-hasil yang dapat diperoleh. Singkatnya dalam pandangan Lewis bahwa
rencana tahunan merupakan sebuah dokumen operasi. Dengan demikian, sasaran
dalam perencanaan jangka pendek tidak menyimpang dari frame work kebijakan yang telah ditentukan dalam perencanaan jangka
menengah dan jangka panjang.
Dimensi
arus penyusunan
Berdasarkan prosesnya, perencanaan ini
dibagi menjadi perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up planning) dan perencanaan
dari atas ke bawah (top-down planning). Perencanaan dari bawah ke
atas dianggap sebagai pendekatan perencanaan yang seharusnya diikuti karena
dipandang lebih didasarkan pada kebutuhan nyata. Pandangan ini timbul karena
perencanaan dari bawah ke atas ini dimulai prosesnya dengan mengenali kebutuhan
di tingkat masyarakat yang secara langsung yang terkait dengan pelaksanaan dan
mendapat dampak dari kegiatan pembangunan yang direncanakan.
Sedangkan perencanaan dari atas ke bawah
adalah pendekatan perencanaan yang menerapkan cara penjabaran rencana induk ke
dalam rencana rinci. Rencana rinci yang berada di bawah adalah penjabaran rencana
induk yang berada di atas. Pendekatan perencanaan sektoral acapkali ditunjuk
sebagai pendekatan perencanaan dari atas ke bawah, karena target yang
ditentukan secara nasional dijabarkan ke dalam rencana kegiatan di berbagai
daerah di seluruh Indonesia
yang mengacu kepada pencapaian target nasional tersebut. Pada tahap awal
pembangunan, pendekatan perencanaan ini lebih dominan, terutama karena masih
serba terbatasnya sumber daya pembangunan yang tersedia.
Di dalam implementasinya tidak terdapat lagi
penerapan penuh pendekatan dari atas ke bawah. Beberapa pertimbangan, misalnya
ketersediaan tabungan pemerintah sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan
kepentingan sektoral nasional, masih menuntut penerapan pendekatan dari atas ke
bawah. Namun, kini pendekatan tersebut tidak lagi sepenuhnya dijalankan karena
proses perencanaan rinci menuntut peran serta masyarakat. Untuk itu, diupayakan
untuk memadukan pendekatan perencanaan dari atas ke bawah dengan perencanaan
dari bawah ke atas. Secara operasional pendekatan perencanaan tersebut ditempuh
melalui mekanisme yang disebut Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian
Pembangunan di Daerah (P5D) dengan memanfaatkan forum-forum Musyawarah
Pembangunan (Musbang) Desa, Musbang Kecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan
(Rakorbang) Dati II, Rakorbang Dati I, Konsultasi Regional Pembangunan
(Konregbang), yaitu Dati I sepulau/kawasan, dan puncaknya terjadi pada
Konsultasi Nasional Pembangunan (Konasbang). Di setiap tingkat diupayakan untuk
mengadakan koordinasi perencanaan sektoral dan regional. Usulan atau masalah
yang lintas wilayah atau lintas sektoral yang tidak dapat diselesaikan di suatu
tingkat dibawa ke tingkat di atasnya. Proses berjenjang ini diharapkan dapat
mempertajam analisis di berbagai tingkat forum konsultasi perencanaan
pembangunan tersebut. Dengan demikian, perencanaan dari atas ke bawah yang
memberikan gambaran tentang perkiraan-perkiraan dan kemungkinan-kemungkinan
yang ada diinformasikan secara berjenjang, sehingga proses perencanaan dari
bawah ke atas diharapkan sejalan dengan yang ditunjukkan dari atas ke bawah.